Keterlibatan Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Hutan: Studi Kasus Wilayah Sendi Mojokerto

Ditulis Oleh: Figur Kautsar

Indonesia bukan saja negara kepulauan tapi lebih dari itu, kawasan hutan yang berlimpah dan tersebar di berbagai daerah di nusantara, termasuk Pulau Jawa menjadi sebuah sumber kehidupan. Bukan saja bagi Negara tetapi juga bagi masyarakat adat disekitarnya.

Wewenang pengelolaan hutan khususnya wilayah Jawa oleh pemerintah diberikan kepada perhutani, melalui peraturannya tentang pengelolaan kawasan hutan lindung dan hutan produksi (Baca: Peraturan Pemerintah (PP) no 72/2010). Peraturan tersebut diatur berdasarkan prinsip – prinsip kelestarian hutan, serta tata kelola perusahaan dan wilayah yang baik. Apabila ditotal jumlah kawasan hutan yang dikelola oleh perhutani sekitar 2.429203.00 ha atau sekitar 74 % dari luas lahan hutan pulau Jawa dan Madura yang dikelola Pehutani.[1]

Wilayah kelola Perhutani di Jawa Timur meliputi kawasan Pulau Jawa dan Madur, yang memiliki luas kawasan hutan tetap di area regional sekitar 28% dari luas daratan. Kawasan hutan yang dikelola oleh Divisi Regional Jatim ini terdiri dari kawasan hutan lindung dengan luasan 314.720,50 Ha (23,07%), sedangkan konservasi dengan luasan 233.828,50 Ha (17,14%) dan untuk produksi sekitar 815,062,02 Ha (59,79%).[2]

Kawasan hutan terluas berdasarkan data tersebut adalah hutan produksi, yang mana pengelolaan sepenuhnya menjadi wewenang Perhutani Unit II Jawa Timur. Selain mengelola kawasan hutan, Perhutani juga diberikan wewenang untuk mengelola hutan lindung. Kawasan hutan lindung yang dikelola oleh perhutani seluas 314.720,50 Ha dan hutan produksi seluas 815.062,02 Ha.

Kemudian kondisi hutan yang dikelola oleh Perhutani tidak sedang dalam kondisi yang baik, dalam temuan intepretasi citra satelit Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI–Jawa Madura (BPKHXI,2003), dari luas kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani seluas 2.442.101 Ha, hanya sekitar 67,8% yang terlihat hutan berpenutupan atau masih lestari dan sekitar 32,2%. Hampir dari sepertiga wilayah kelola Perhutani, tidak berpenutupan atau hutan dalam kondisi kritis, kebanyakan wilayah hutan yang kritis berada di area hutan lindung. Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, menyebutkan banyaknya jumlah penduduk Indonesia sebanyak 260 juta atau sekitar kurang lebih 57.5% sebagian besar mendiami kawasan pulau Jawa.

Luasnya wilayah kelola yang diamanatkan kepada Perhutani tersebut, diduga menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses sumber daya hutan dan beberapa permasalahan seputar hutan. Terlebih setelah keluarnya UU No.41 tahun 1999 tentang kawasan hutan, Perhutani bertindak di luar batas dengan tidak pernah menyetujui untuk mengeluarkan tanah-tanah masyarakat dari kawasan hutan. Sehingga mengakibatkan sengketa sekaligus konflik berkepanjangan di sekitar wilayah kelolanya. Dampak dari penguasaan wilayah yang timpang, telah melatarbelakangi terjadinya pemisahan secara sistematis antara masyarakat adat, masyarakat sekitar hutan dari akses sosial, ekonomi dan budaya. Selain itu Perhutani juga sering melakukan intimidasi, serta tidak pernah mengakomodir kepentingan masyarakat, kecuali ada potensi akumulasi profit.

Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Hutan

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, khususnya masyarakat adat sesungguhnya bersifat holistik, karena mereka memiliki prinsip tidak memisah-misahkan hutan dengan sumber daya alam lain. Manusia, hutan dan sumber daya alam lain adalah kesatuan utuh ekosistem, sebagai sebuah ruang hidup yang disebut wilayah adat. Dalam konteks ini, hutan adalah subsistem dari ruang hidup yang luas.[3]

Pendekatan pengelolaan ini cenderung pada pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem based management of forest resource). Basis pengelolaan hutan oleh masyarakat tak sepenuhnya bergantung pada formalitas hukum. Hukum (hukum adat, hukum negara bahkan hukum agama) adalah pelaksanaan autentik dari nilai-nilai sosial masyarakat, terutama masyarakat adat. Nilai-nilai sosial dalam pengelolaan hutan ini adalah “tradisi” atau dikenal dengan “adat” yang hidup informal dari pengetahuan kearifan lokal masyarakat terhadap alam. Pendekatan-pendekatan informal lebih utama dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat.[4] Pada konteks ini, sistem sosial berbasis tradisi (indigenous value) yang menopang keberlanjutan pengelolaan hutan dan sumber daya alam oleh masyarakat. Dalam praktiknya terlihat sangat efektif dan efisien, meskipun bekerja secara de facto tanpa ada pengakuan oleh negara.

Seperti yang terjadi di Desa Sendi, Pacet, Kabupaten Mojokerto. Dituturkan oleh Ki Demang atau akrab dipanggil Pak Toni, “Warga di sini (baca:Sendi) menanam bambu tak hanya untuk dijual tetapi juga untuk mencegah longsor.” Letak desa yang berada di lereng Gunung Welirang mengharuskan warganya untuk sadar dalam pencegahan longsor. Langkah tersebut dilakukannya bersama Forum Perjuangan Rakyat (FPR) Sendi. Visi ekologis yang diusung oleh mereka menitikberatkan pada pelestarian lingkungan. Hal itu dilakukan untuk membuka pemahaman bersama bahwa tidak hanya Perhutani yang mampu menjaga fungsi ekologis suatu wilayah. Masyarakat pun bisa memainkan peran dan menjaga fungsi ekologis di suatu wilayah, tentunya dengan demokratisasi dan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam hal ini, kedaulatan rakyat atas sumber-sumber agraria menjadi kunci terwujudnya keadilan sosial.

Sebelumnya, lahan Desa Sendi yang merupakan kawasan hutan produksi pinus yang dikelola oleh KPH Pasuruan tersebut sudah gundul. Kemudian FPR menanami kawasan tersebut dengan tumbuhan buah-buahan. tumbuhan yang ditanam oleh FPR bukanlah tumbuhan yang manfaatnya berupa kayu, akan tetapi buah-buahan. Dengan begitu, pohon yang ditanam tidak akan ditebang dalam waktu yang sangat lama karena yang diambil manfaatnya bukan berupa kayu, akan tetapi buahnya.

Perhutani kerap menggunakan alasan wilayah hutan di Jawa sudah berada di bawah angka 30%, merupakan alasan yang cukup kuat bagi Perhutani untuk tidak melepaskan wilayah kuasanya. Namun, ketika melihat fakta sosial saat ini di Desa Sendi, alasan tersebut tentu menjadi lemah. Faktanya, rakyat lebih mampu menjaga fungsi ekologis suatu kawasan tanpa harus merusak ekosistem di kawasan tersebut.

Ditambah ada aturan yang melarang warganya untuk memperjualbelikan tanah kepada orang luar masyarakat adat mereka. Hal ini sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian kawasan mereka yang berada dalam wilayah hutan terhadap ancaman eksploitasi yang mungkin akan dilakukan oleh pihak-pihak luar.

Tradisi masyarakat lainnya seperti ngideri kampung (mengelilingi kampung) yang dilakukan oleh kepala dusun atau tokoh spiritual masyarakat yang dilaksanakan pada malam hari jumat legi, dengan membaca mantra atau wirid sambil berjalan mengelilingi kampung dan Ngangsu Banyu Waras, yang dilakukan setiap hari jumat wage, dengan menaruh air dalam cukil/bombing, dimaksudkan untuk menjaga kelestarian seluruh kawasan desa dan sumber mata air mereka.

Lahan yang saat ini diduduki oleh FPR seluas kurang lebih 200 Ha. Komposisi tata guna lahan yang berhasil diduduki adalah 10% digunakan untuk pemukiman, 40% difungsikan untuk hutan desa, sedangkan 50% sisanya untuk perkebunan yang dikelola dengan konsep agroforestry. Hutan desa tersebut dimaksudkan sebagai hutan resapan atau konservasi dengan kemiringan lahan sekitar 40 derajat. Hal yang patut dicatat adalah salah satu komitmen yang mereka bangun dalam melestarikan hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Salah satunya adalah konsep agroforestry-nya untuk lahan pertanian, serta green village untuk lahan pemukiman. Kedua konsep ini menurut FPR adalah untuk mengembalikan hutan sebagaimana mestinya.

Tidak Ada Perlindungan Secara Hukum

Apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sendi bertolak belakang dengan kondisi secara hukumnya. Karena secara administrasif mereka tak diakui, lalu tanah mereka diklaim oleh Perhutani. Padahal pengakuan hukum terhadap hak untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dari masyarakat hukum adat, merupakan penghargaan khusus terhadap mereka yang memang telah mempunyai pemerintahan secara adat sebelum negara membentuk pemerintahan.

Bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebetulnya merupakan rangkaian bangunan-bangunan kecil (kleine republiken) dari masyarakat hukum adat. Untuk itu, sudah selayaknya Indonesia memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak masyarakat hukum adat dalam mengatur dan mengurus diri sendiri dan wilayah kelolanya, termasuk didalamnya kawasan hutan adat.

Dalam rilis yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pemerintahan Jawa Timur masih belum melindungi masyarakat adat. Karena hingga saat ini belum mengesahkan satupun Peraturan Daerah (Perda). Perdanya tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat serta memberi pengakuan hak atas hutan adat terhadap masyarakat hukum adat.

Padahal sejak tahun 2004 telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan yang berkaitan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas hutan. Surat Edaran No. S.75/Menhut-II/2004 tentang Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi atau Ganti rugi oleh Masyarakat Hukum Adat yang ditandatangani tanggal 12 Maret 2004 ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Padahal keberadaan masyarakat hukum adat memiliki peran yang sangat penting bagi kelestarian kawasan hutan di sekitarnya.

Referensi

[1] Ekawati, Sulistya, Kushartati Budiningsih, Sylviani, Elvinda Suryandari, and Ismatul Hakim.”Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa. “Policy Brief Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015thser.,9,no.No1(2015):1-8.Accessed February 3, 2018. www.puspijak.org

[2] Rapat Monev Gerakan Nasional Penyelamatan … – acch.kpk.go.id” , accessed February 19 , 2018,

[3] Ferdaus,R.M.,P.Iswari,E.D.Kristianto,M.Muhajir,T.D.Diantoro,danS.Septivianto.2014. Rekonfigurasi Hutan Jawa:Sebuah Peta Jalan Usulan CSO.Biro Penerbitan Arupa. Yogyakarta.

[4] www.mongabay.co.id/2017/08/23/opini-antara-pengelolaan-hutan-berbasis-negara-dan-masyarakat/