Menjelang Pemilu: Melihat Relasi Politik dengan Perampasan Ruang Hidup Masyarakat

Oleh: Wahyu Eka Setyawan

Pemilu dalam suatu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, memiliki arti penting bagi penegakkan demokrasi partisipatoris. Pertama, pemilu merupakan mekanisme demokrasi yang melibatkan segenap elemen masyarakat, dalam proses politik yang demokratis maka masyarakat memiliki akses untuk berpartisipasi. Kedua, pemilu merupakan sebuah mekanisme yang menjamin berlangsungnya tata pemerintahan tetap pada koridor demokrasi. Kemudian yang ketiga, pemilu merupakan jalan damai bagi mereka yang ingin merebut kekuasan, tentu setiap ideologi memiliki motif, salah satunya ialah penerapan demokrasi partisipatoris (langsung). Menurut Kristiadi (2014) secara ideal pemilu harus mampu mendapatakan jembatan transfer of power dan power competition yang merupakan upaya warga negara, dalam mengejahwantahkan konstruksi demokrasi yang demokratis damai dan berada, sebagaimana amanah reformasi.

Pasca mundurnya Soeharto sekaligus menandai runtuhnya Era Orde baru berganti menjadi era reformasi. Masifnya gerakkan masyarakat mulai dari level daerah hingga pusat pada 1997-1998, menjadi salah satu motor dalam tumbangnya rezim otoriter yang selama 32 tahun. Transisi rezim dari Orde Baru menuju reformasi turut mengubah motif perpolitikan, salah satunya ialah perubahan dalam pemilihan umum khususnya pileg. Pada awal era reformasi hingga kini telah dilaksanakan empat kali Pileg yakni pada tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014. Secara historis, setelah Republik Indonesia berdiri tercatat sebanyak sebelas kali pileg telah diselenggarakan. Terdapat tiga klasifikasi berdasarkan waktu pelaksanaan yaitu, pemilu pada era Orde Lama yang diselenggarakan pada tahun 1955, kemudian era Orde Baru tercatat sebanyak enam kali pemilu yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, Selanjutnya pileg yang diselenggarakan di era reformasi yang telah dilselenggarakan sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014.

Berdasarkan pelaksanaan pemilu selama ini, baik untuk memilih pemimpin daerah maupun anggota dewan menurut beberapa masyarakat belum sesuai harapan. Kondisi ini dapat digambarkan melaui kajian yang dilakukan oleh Walhi pada kontes pemilu 2014 silam. Hasil kajian yang dikemukakan oleh Walhi memperlihatkan kurang lebih dari 7% calon anggota legislatif tidak memiliki komitmen terhadap isu lingkungan hidup. Terdapat kaitannya mengapa legislatif harus peduli dan mengerti terkait persoalan lingkungan, karena kebijakan yang diambil dalam konteks sumber daya alam sangat bergantung dengan produk yang mereka hasilkan.

Masalah pertambangan, alih fungsi hutan dan lahan produktif, erat kaitannya dengan undang-undang dan peraturan yang dibuat dan disahkan oleh legislatif dengan sokongan eksekutif. Karena persoalan tersebut posisi dan peran legislatif dan eksekutif menjadi sangat vital, sehingga rawan untuk disalahgunakan. Hal ini bisa dilihat dari maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan legislatif dan eksekutif, misalnya saja politik transaksional sebelum pemilu, seperti ijon tambang yang menjerat beberapa kalangan baik di pusat maupun di daerah.

Politik, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan

Masih tidak berpihaknya suatu kebijakan dalam upaya menegakkan keadilan sosial dan lingkungan, dapat dilihat dari persoalan korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya seperti trading in influence, political capture dan regulatory capture. Pada konteks trading in influence atau memperdagangkan pengaruh umum, dapat kita jumpai dalam konteks beberapa problem di Indonesia, salah satunya korupsi yang berawal dari aspek ini. Menurut catatan ICW dalam “Kajian Implementasi Aturan Trading in Influence dalam Hukum Nasional” (2014), mereka mengungkapkan jika dalam konteks memperdagangkan pengaruh di Indonesia cukup banyak ditemui. Salah satunya melihat kasus korupsi yang terjadi, memiliki motif yang relasional dengan substansi trading in influence.

Persoalan yang berkaitan dengan trading in influence dapat dilihat dari beberapa contoh kasus, seperti papa minta saham, suap terkait impor sapi; suap dalam penggiringan anggaran 16 perguruan tinggi; suap pembangunan sarana olahraga; suap alih fungsi hutan; Ijon tambang batubara; suap pengadaan Al Quran; dan kasus-kasus suap lainnya. Persoalan tersebut terjadi melalui mekanisme trading in influence yang kerap terjadi di Indonesia dan pangkal persoalan terdapat di para pengatur kebijakan salah satunya eksekutif, partai politik dan legislatif. Padahal dalam konteks ini Indonesia menurut catatan dari PBB pada tahun 2012 dalam pertemuan konferensi anti-korupsi, bahwasanya Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi tanggal 9-11 Desember 2003, di Merida, Mexico. Lalu setelah itu, pada 19 September 2006, Indonesia meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Selain pada konteks trading in influence terdapat aspek political capture, yang menjadi salah satu penyebab marakya kebijakan eksekutif dan legislatif yang rawan dikorupsi dan merugikan masyarakat.

Political capture ini dapat dimaknai sebagai suatu kondisi di mana oligarki politik (termasuk eksekutif dan legislatif) mengubah kebijakan serta regulasi agar menguntungkan mereka, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Menurut Oxfam dalam laporannya yang berjudul Working for the Few: Political Capture and Economic Inequality (2016), ketimpangan ekonomi yang terjadi dalam hal ini Indonesia, mengakibatkan meningkatkannya ketimpangan politik. Kondisi ini diakibatkan oleh golongan elite (oligarki politik) yang menggunakan pengaruh politik mereka untuk mempertahankan dan meningkatkan keuntungan yang mereka dapatkan, pada situasi yang sama golongan ini menghalangi kebijakan yang memperkuat hak-hak masyarakat secara luas.

Salah satu contoh political capture ialah beberapa kebijakan yang dihasilkan legislatif sangat relasional dengan keuntungan segelintir elite, misalnya deregulasi hutan lindung menjadi hutan produksi untuk sawit dan pertambangan, hingga persoalan penguasan lahan. Seperti keberadaan mereka yang berada di sektor swasta, beberapa kasus membangun kolusi dengan pejabat politik untuk mendapatkan akses anggaran dan proyek, salah satunya berkaitan dengan akses penguasaan sektor penting seperti lahan. Hal ini mengakibatkan beberapa titik yang seharusnya menjadi hak masyarakat hanya dikuasai segelintir pemodal, seperti ketimpangan kekayaan, penguasaan lahan dan sumber daya alam. Contoh kasus penguasaan lahan oleh Sinar Mas, Grup salim dan lain-lain, yang lahannya sangat luas sekitar hampir separuh pulau jawa. Kondisi tersebut sangat kontras dengan penguasaan lahan oleh masyarakat yang sangat kecil, begitu juga masyarakat adat yang semakin tercerabut dan teralienasi dari hutannya akibat dirampas oleh Industri Perkebunan Sawit. Sementara untuk kasus di Jawa Timur khususnya di Surabaya, kebanyakan lahan dimiliki oleh korporasi properti, seperti Ciputra dan Pakuwon.

Aspek lainnya yang patut disoroti dalam konteks kebijakan legislatif yang belum berpihak pada konstituen yaitu regulatory capture. Dalam aspek ini dapat dilihat bahwasanya salah satu yang mengakibatkan ketidakberpihakan pada masyarakat, hingga berpotensi korup salah satu pokok masalahnya ialah pada aspek kebijakan yang telah dihasilkan. Seperti kebijakan ekonomi yang masih belum berpihak pada masyarakat, masih sarat dengan kepentingan pemodal. Misalnya dalam konteks kasus di pesisir selatan Jawa Timur, kebijakan penetapan kawasan pesisir selatan sebagai area pertambangan mengakibatkan teracamnya ruang hidup masyarakat di sana.

Sebagai contoh, kebijakan Kementerian Kehutanan pada tahun 2013, terkait perubahan kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi di Banyuwangi, telah menyebabkan kawasan Tumpang Pitu terancam keberlangsungannya. Terancamnya Tumpang Pitu diakibatkan oleh tambang emas yang mengeksploitasi kawasan tersebut, selain kebijakan penetapan kawasan pertambangan mineral, pengalihan kawasasan hutan, juga diperkuat dengan keputusan Bupati terkait izin eksploitasi dan peran legislatif yang mendukung kebijakan tersebut. Selain itu penetapan kawasan pariwisata di area Malang dan Batu, melalui Perda RTRW yang disahkan oleh legislatif dan eksekuif di daerah semakin mengakibatkan masifnya pembangunan. Sehingga mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat, salah satunya rusaknya kawasan hutan dan terancamnya sumber mata air.

Kesadaran Politik untuk Perubahan

Masih minimnya kepedulian seorang calon pemimpin daerah dan anggota dewan baik aktor lama maupun baru, sangat berpengaruh pada arah kebijakan di sektor sumber daya alam. Kemudian menjelang pemilihan umum serentak pada tahun 2018 dan 2019 ini, rawan terjadi tindakan politik transaksional yang erat kaitannya dengan ijon politik baik sektor sumber daya alam, maupun kebijakan lainnya. Sehingga kondisi tersebut sangat rawan terjadinya praktik politik uang saat menjelang pemilu, hingga indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme ketika calon tersebut terpilih.

Oleh karena itu rakyat Indonesia terlebih Jawa Timur, sebagai konstituen pemilihan elektoral, harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang para kandidat serta kepentingan-kepentingan para pendukung mereka yang akan diselenggarakan serentak pada tahun 2019. Bukan hanya kemudian sekedar tahu dan paham, namun juga harus memiliki nilai tawar dalam urusan memastikan bagaimana para kandidat yang telah dipilih bekerja menjalankan mandat serta kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Terlebih mengenai penyelesaian dan perlindungan kawasan dari okupasi pertambangan, industrialisasi banal serta perampasan lahan-lahan produktif untuk kawasan perumahan, industri hingga infrastruktur yang tidak melihat dampak sosial-ekologis.

Mengingat kontes pemilihan baik legislatif maupun eksekutif hanya obral janji, bahkan berperan dalam persoalan perampasan ruang hidup rakyat. Memilih calon yang salah akan mengakibatkan semakin terpuruknya wilayah yang akan dipimpin, sehingga di masa depan perlu adanya kesadaran politik dari rakyat, agar nantinya rakyat di daerah-daerah yang terkena banalnya perampasan ruang hidup dapat menjadi pemimpin, tanpa harus mengajukan diri dan obral janji, karena rakyatlah sendiri yang mengajukan diri sebagai implementasi demokrasi langsung.