Rilis Media
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur
Tanpa Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Propinsi Jatim Masih Memarjinalkan Peran Masyarakat Adat Dalam Pelestarian Kawasan Hutan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum lainnya. Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah ada sebelum proklamasi Republik Indonesia. Setelah amandemen UUD 1945, setidaknya terdapat tidak tiga ketentuan utama yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga ketentuan tersebut yaitu Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Ketiga pasal tersebut memberi penegasan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai sistem pengurusan diri sendiri termasuk didalamnya pengelolaan wilayah adat.
Pengakuan hukum terhadap hak untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dari masyarakat hukum adat merupakan penghargaan khusus terhadap mereka yang memang telah mempunyai pemerintahan secara adat sebelum negara membentuk pemerintahan. Bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebetulnya merupakan rangkaian bangunan-bangunan kecil (kleine republiken) dari masyarakat hukum adat. Untuk itu, sudah selayaknya Indonesia memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak masyarakat hukum adat dalam mengatur dan mengurus diri sendiri dan wilayah kelolanya, termasuk didalamnya kawasan hutan adat.
Secara sosiologis, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki keterikatan yang sangat kuat pada hutan dan telah membangun interaksi yang intensif dengan hutan. Di berbagai tempat di Indonesia, interaksi antara masyarakat adat dengan hutan tercermin dalam model-model pengelolaan masyarakat adat atas hutan yang pada umumnya didasarkan pada hukum adat, yang biasanya berisi aturan mengenai tatacara pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan ternak, perburuan satwa dan pemungutan hasil hutan. Praktek-praktek tersebut menunjukan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan pengelolaan sumber daya alam (hutan) secara turun-temurun. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi, dan ekologi.
Namun, hingga saat ini, provinsi Jawa Timur belum mengesahkan satupun Peraturan Daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat serta memberi pengakuan hak atas hutan adat terhadp masyarakat hukum adat di Jawa Timur. Padahal sejak tahun 2004 telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan yang berkaitan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas hutan. Surat Edaran No. S.75/Menhut-II/2004 tentang Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/ Ganti rugi oleh Masyarakat Hukum Adat yang ditandatangani tanggal 12 Maret 2004 ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia.
Pada intinya Surat Edaran Menteri Kehutanan itu berisi tujuh hal, antara lain:
- Perlu dilakukannya penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah suatu komunitas yang melakukan tuntutan terhadap kawasan hutan yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan. Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999.
- Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap), Bupati/Walikota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada (de facto) dan diakui keberadaannya (de jure).
- Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
- Peraturan daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat. Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan hutan adat.
- Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan.
- Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPH/IUPHHK yang melakukan kegiatan/operasi di wilayah masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus berbentuk uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya atau pembangunan fasilitas umum/sosial yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan dalam batas kewajaran/tidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat.
- Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, gubernur atau bupati/walikota dapat memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya disarankan dilakukan melalui proses
Ketiadaan Perda Pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat di Jawa Timur akan semakin menguatkan ketidakpastian pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat hukum adat yang ada di Jawa Timur dan lebih jauh akan semakin menekan keberadaan masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan hutan antara lain dengan: 1) Memarjinalisasi, dan bahkan menggusur hak-hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan SDA; 2) Menekankan pendekatan keamanan (security approach); 3) Menonjolkan sanksi-sanksi hukum yang hanya ditujukan untuk rakyat yang melakukan pelanggaran hukum; 4) Memberi stigma kriminologis bagi pelanggar hukum sebagai perusak SDA, penjarah kekayaan alam, peladang liar/berpindah, perambah hutan, perumput atau penggembala liar, perusuh keamanan hutan, pencuri hasil hutan, dan lain lain.
Padahal keberadaan masyarakat hukum adat memiliki peran yang sangat penting bagi kelestarian kawasan hutan di sekitarnya. Seperti contohnya dalam masyarakat adat Tengger di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang dalam adat istiadat mereka sangat erat keterikatannya dengan lingkungan sekitarnya, hal ini dapat dicermati misalnya lewat homogenitas pekerjaan mereka sebagai petani pegunungan yang sangat tergantung pada tanah tanaman dan binatang (ternak), cuaca, dan air, serta hutan untuk memenuhi kebutuhan penunjang mereka. Namun pada beberapa desa masyarakat adat Tengger yang berada di tengah-tengah Taman Nasional (enclave) menjadikan keleluasaan serta akses masyarakat adat Tengger terhadap hutan menjadi terbatas, karena pihak taman nasional tentu akan melakukan upaya perlindungan dari ancaman pembukaan kawasan, penebangan liar, penyerobotan, pencurian hasil hutan, perburuan satwa, maupun konflik tata batas. Namun menariknya, meski berpotensi demikian, menurut catatan riset yang telah dilakukan sebelumnya, justru masyarakat adat Tengger tidak pernah sekalipun melakukan tindakan kriminalitas yang mengarah pada perusakan taman nasional. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan yang sangat tinggi antara masyarakat adat Tengger dengan lingkungan alamnya menjadikan terpeliharanya persepsi masyarakat Tengger yang menganggap dirinya adalah bagian dari lingkungan/alam yang mewajibkan bagi manusia untuk berbakti kepada penciptanya dan menjagan alam yang merupakan bagian kehidupan mereka.
Dalam masyarakat adat desa Sendi di Kabupaten Mojokerto misalnya, terdapat aturan yang melarang warganya untuk memperjualbelikan tanah kepada orang luar masyarakat adat mereka. Hal ini sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian kawasan mereka yang berada dalam wilayah hutan terhadap ancaman eksploitasi yang mungkin akan dilakukan oleh pihak-pihak luar. Tradisi masyarakat lainnya seperti ngideri kampung ( mengelilingi kampung ) yang dilakukan oleh kepala dusun atau tokoh spiritual masyarakat yang dilaksanakan pada malam hari jumat legi dengan membaca mantra atau wirid sambil berjalan mengelilingi kampung dan Ngangsu Banyu Waras, yang dilakukan setiap hari jumat wage, dengan menaruh air dalam cukil/bombing, dimaksudkan untuk menjaga kelestarian seluruh kawasan desa dan sumber mata air mereka.
Dari contoh-contoh tersebut, bisa ditunjukkan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat memberi peran penting bagi kelestarian kawasan hutan. Sehingga keberadaan Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan pengakuan hak atas hutan adat menjadi penting untuk segera dirancang dan ditetapkan di Provinsi Jawa Timur. Kehadiran peraturan daerah ini juga merupakan wujud tanggung jawab pemerintah provinsi selaku pemangku kewajiban utama dalam memberikan jaminan atas perlindungan, pemenuhan, penghormatan hak-hak masyarakat hukum adat. Karena pembiaran ketiadaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat akan memunculkan implikasi berlarutnya konflik di masyarakat hukum adat serta dapat menghalangi masyarakat hukum adat untuk berdaulat, mandiri dan bermartabat sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Kontak Media:
Rere Christanto – 083857642883 (Direktur Eksekutif)
Wahyu Eka – 082234448928 (Manajer Pendidikan dan Pengembangan Jaringan)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur
Jl. Karah no. 7H, Surabaya | (031) 8299942 | admin@walhijatim.or.id | walhijatim.or.id