Oleh: Fictor Ferdinand

Saya ingin menguraikan persoalan sampah, dalam kerangka System Thinking (Cara Berpikir Sistem). Kerangka yang biasa digunakan dalam Cara Berpikir Sistem adalah Model Gunung Es pada gambar di bawah. Yang muncul ke permukaan air dari Gunung Es biasanya hanya puncaknya saja. Massa yang jauh lebih besar tidak terlihat di bawah permukaan.

 

Dalam Cara Berpikir Sistem, yang muncul ke permukaan itu adalah fenomena atau peristiwa. Ini adalah sesuatu yang riil yang bisa dilihat, dirasakan dan disentuh. Biasanya berisi banyak data. Di bawah permukaan, ada pola kejadian atau trend. Bagian ini sebenarnya adalah pola-pola kejadian yang menyejarah, lintas ruang dan waktu. Bagian ini memberikan pemahaman pada kita dan membuat kita mampu memprediksi apa yang akan terjadi berikutnya.

 

Sebuah pola kejadian, tidak terjadi dengan sendirinya. Ada kekuatan yang membuat pola tersebut muncul. Ada struktur yang mendesain mengapa pola tersebut muncul. Struktur ini berupa perangkat aturan, kebijakan, infrastruktur, dan pengorganisasian yang membuat pola-pola tersebut muncul sepanjang ruang dan waktu yang berbeda. Dengan mengidentifikasi struktur, kita dapat membuat prediksi dengan lebih baik lagi. Memahami struktur bukan hanya memahami pola kejadian lintas ruang dan waktu, namun juga memahami apa yang menyebabkan pola kejadian itu muncul.

 

Lebih dalam lagi, struktur terbentuk karena mental model. Sederhananya, mental model adalah cara kita memandang dunia. Cara pandang kita menentukan apa yang kita lakukan. Memahami mental model yang bekerja, membuat kita mampu mengantisipasi struktur baru apa yang mungkin terbentuk. Struktur baru ini belum tentu menyelesaikan persoalan. Bisa jadi ia adalah wajah baru dari persoalan yang sama.

 

Bila dirunut balik ke atas, cara pandang kita terhadap dunia akan menentukan aksi atau respon kita terhadap sesuatu. Seiring waktu kita akan mengembangkan tata aturan, fasilitas, dan organisasi untuk memfasilitasi aksi atau respon kita. Kita membentuk struktur. Struktur ini kemudian membuat hasil yang muncul selalu berulang sama di sepanjang waktu, dan di tempat manapun kita menggunakan struktur tersebut. Struktur menciptakan pola. Pola-pola ini muncul ke permukaan dalam bentuk kejadian. Kadang ia menjadi sangat fenomenal, kadang hanya kejadian-kejadian selintas yang dianggap tidak terlalu penting.

 

Dari segi kerja untuk melakukan perubahan, level kerja paling mudah adalah mengubah fenomena. Kita mengubah angka-angka statistik, dan kejadian. Biasanya cara kerja mengubah fenomena ini adalah dengan mengadakan event-event, yang memberikan kesan bahwa perubahan sedang terjadi. Level yang lebih sulit adalah mengubah pola. Lewat pendisiplinan dan kerja keras, kita bisa melakukan sesuatu, dan memberikan kesan adanya perubahan. Bentuknya misalnya event rutin tahunan. Saat disiplin dan kerja keras itu hilang, event tidak terjadi dan kesan perubahan pun hilang.

 

Kerja perubahan yang lebih strategis, dan berjangka lebih panjang, adalah kerja untuk mengubah struktur. Mengubah struktur, apalagi yang sudah matang bertahun-tahun, tentu tidak mudah. Kita akan menemui resistensi dari para pihak yang sudah lama hidup dalam struktur tersebut. Perubahan struktur tidak mudah dan murah, dan seringkali butuh waktu yang lama. Namun saat struktur berubah, pola kejadian baru akan muncul dan fenomena baru tercipta.

 

Kerja perubahan paling strategis, sekaligus paling sulit adalah pada perubahan mental model, atau cara pandang. Sulit, karena di satu sisi, mental model tidak disadari oleh kebanyakan orang, sehingga proses perubahannya, perlu pengulangan yang terus menerus, proses praksis yang tak terputus. Namun, saat mental model berubah, struktur baru terbentuk dan mendorong pola kejadian baru, kemudian menimbulkan kejadian-kejadian baru.

 

Sekilas tentang System Thinking

 

Berangkat dari pemikiran para pendahulunya seperti Ludwig von Bertalanffy, mendiang Jay Forrester mengembangkan lebih jauh tentang System Thinking atau Cara Berpikir Sistem, atau yang biasanya disebut juga dengan cara berpikir holistik, atau menyeluruh. Menurut saya, titik berat cara berpikir sistem adalah pada memahami struktur: pola kejadian apa yang muncul dari struktur tersebut dan apa yang menyebabkan struktur tersebut terjadi.

 

Cara Berpikir Sistem sendiri menjawab keluhan cara berpikir linear dan reduksionistik yang berkembang di ilmu pengetahuan sejak Rene Descartes. Cara berpikir reduksionistik, berguna pada saat analisis, dimana kita membedah bagian-bagian dari suatu fenomena. Tapi, cara ini tidak bisa menjelaskan fenomena baru yang muncul sebagai hasil interaksi dari berbagai bagian tersebut. Sistem lebih dari kumpulan atau jumlah dari bagian-bagiannya.

 

Berpikir secara holistik/sistemik sebenarnya berkembang sejak masa awal kemanusiaan, diadaptasi oleh masyarakat asli di seluruh dunia, yang kemudian disederhanakan dengan sebutan “kebijaksanaan lokal”. Karena tidak kompatibel dengan bangunan sains modern yang cenderung reduksionistik, akhirnya cara berpikir sistem sulit diterima. Namun fisika kuantum di masa Einstein dan Schrodinger kemudian menemukan bahwa cara pandang Newton tidak berlaku di dunia kuantum. Hal ini adalah guncangan awal terhadap bangunan sains yang reduksionistik dan linear tersebut. Lebih jauh, perkembangan Ekologi yang didorong oleh Eugene Odum kemudian memperlihatkan sifat alam yang non-linear dan kompleks.

 

Jay Forester dan para peneliti di MIT kemudian mengembangkan kerangka untuk proses berpikir. Hasil pemikiran murid-murid Jay Forester adalah Limits To Growth yang keluar pada tahun 1974. Buku ini mendapat cemoohan dan hujatan. Pesan buku ini tetap relevan hingga hari ini: bahwa di dunia yang terbatas, kita tidak mungkin tumbuh secara tak terbatas. Alasan mengapa buku ini dicemooh adalah karena kesan pesimistik dan nuansa kehancuran yang terkandung di dalamnya. Bagi kebanyakan masyarakat, pertumbuhan adalah ukuran kemajuan. Dan kemajuan adalah baik.

 

Baru-baru ini, Johan Rochstrom, mengeluarkan hasil riset tentang batasan-batasan planeter yang akan kita labrak saat kita meneruskan pola pertumbuhan selama ini. Keinginan untuk terus bertumbuh secara material, terbukti tidak realistis di bumi.

 

Tentang Seri Artikel

 

Artikel ini akan jadi bagian pertama dari rangkaian beberapa artikel untuk Sekolah Ekologi Walhi Jawa Timur. Harapannya, artikel ini membuka pintu untuk dialog. Dialog tentang, spesifiknya, persoalan sampah dan umumnya-tentang kerangka berpikir yang bisa diterapkan untuk memahami dan bertindak terhadap persoalan-persoalan lingkungan lain di Jawa Timur dan Indonesia.

 

Kerangka ini membantu kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan spesifik, kemudian merefleksikannya pada pola kejadian di tempat kita sendiri. Dari situ kita bisa menyusun rencana aksi untuk mengintervensi persoalan di level yang lebih strategis, tidak hanya merespon pada kejadian. Apa yang kita lakukan sebagai aktivis, seringkali, tanpa kita sadari sudah mengikuti kerangka ini, saya hanya mengangkatnya ke permukaan lewat refleksi, khususnya di isu persampahan.

 

Dalam artikel ini saya akan membahas tentang Fenomena persampahannya sendiri. Bagian puncak dari model gunung es. Di artikel selanjutnya, saya akan mengulas pola dan struktur yang mendorong terbentuknya fenomena-fenomena tersebut, serta bagaimana persoalan sampah berelasi dengan sistem-sistem lain, terutama sistem sosial dan ekonomi. Terakhir sekali, saya akan menguraikan berdasarkan pengetahuan saya, tentang paradigma atau mental model apa yang berada di bawah model pengelolaan persampahan di Indonesia saat ini, dan alternatif mental model yang selaras dengan alam, dan struktur apa yang bisa kita bangun dari situ.

 

Persoalan Sampah: Fenomena/ Kejadian (events)

 

Bandung, 21 Februari 2005 dini hari. Hujan tiga hari berturut-turut yang mengguyur wilayah Bandung dan sekitarnya mencapai puncaknya pada saat itu. Diawali dengan suara gemuruh, tiba-tiba tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah, longsor dan mengubur perumahan warga. 156 orang meninggal seketika. Leuwigajah adalah TPA yang menampung sampah dari Bandung, Kabupaten Bandung dan Cimahi. Setidaknya sekitar 4000 ton atau 6500-7500 meter kubik sampah dikirim ke Leuwigajah setiap harinya. Pada saat longsor, diperkirakan sekitar 2.7 juta meter kubik sampah longsor menimbun warga.

 

TPA Leuwigajah pun ditutup. Selama beberapa minggu sesudahnya, aroma sampah tercium di seantero kota Bandung. Orang Bandung tidak bisa buang sampah ke TPA, akibatnya sampah menumpuk di rumah-rumah dan di TPS. Air lindi mengalir ke jalan, dilindas kendaraan dan membawa baunya ke rumah-rumah. Bandung yang pernah jadi Lautan Api, kini menjadi Lautan Sampah.

 

Pemerintah Kota bergerak cepat, menegosisasi pembukaan lahan TPA sementara di Sarimukti. Orang Bandung bisa bernapas lega sejenak sebelum akhirnya TPA tersebut pun kembali longsor di tahun 2007. Kali ini tanpa korban jiwa, hanya 2.6 hektar sawah penduduk tertimbun sampah. Bandung kembali jadi kota lautan sampah. Pemerintah membuat perluasan wilayah Sarimukti.

 

Peristiwa ini begitu fenomenal, hingga tanggal 21 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Sampah Nasional. Bagi saya pribadi, Hari Sampah Nasional seharusnya berarti hari dimana kita berefleksi apa yang salah dengan pengelolaan sampah yang kita lakukan.

 

Selama ini kita selalu melihat himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya. Lalu setelah kita melakukan itu, mengapa lalu Leuwigajah terjadi? Apa yang mendorong peristiwa Leuwigajah? Bagaimana dengan Surabaya dan kota-kota lain?

 

Pertanyaan ini akan saya jawab di bagian-bagian berikutnya dari artikel ini, dengan tetap mengacu pada kerangka Cara Berpikir Sistem yang telah saya uraikan di atas.


1 Comment

Gambar Fenomena Gunung Es – Bacaan Gambar · February 13, 2020 at 4:23 pm

[…] Download Image More @ walhijatim.or.id […]

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *