Daerah Untuk Siapa?

Oleh: Marliana Eka Fauzia

 

Permasalahan menyangkut sumber daya alam di Indonesia tidak terlepas dari sistem pemerintahan negara yang mendistribusikan wewenang dari pusat  ke daerah. Kita ketahui negara Indonesia berbentuk kesatuan, akan tetapi disisi lain Indonesia juga mengadopsi bentuk federal, dengan  menerapkan otonomi daerah. Mengingat  penerapan pelaksanaan otonomi daerah sangat identik di negara yang mengadopsi bentuk federal, sedangkan negara yang berbentuk kesatuan identik dengan sistem pemerintahan terpusat. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia  berdasarkan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, kemudian di revisi karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi ketatanegaraan dan adanya tuntutan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Undang-Undang tersebut direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya direvisi menjadi Nomor tahun 12 Tahun 2008. Revisi terus berlanjut terkait pemerintahan daerah menjadi 23 Tahun 2014 dan revisi terakhir menjadi  nomor 9 tahun 2015.

 

Adanya otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia di satu sisi akan berdampak positif dalam mendukung berjalannya sistem politik Indonesia yang menganut demokrasi. Karena otonomi daerah dapat menjadikan daerah lebih leluasa mengatur daerahnya yang tentunya sesuai dengan kultur, dan sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Ketakutan timbul dibenak masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah terkait memunculkan raja-raja kecil di daerah. Mengingat korupsi di Indonesia dalam tataran pusat sudah begitu masif, begitu juga tidak dapat terlekkan di daerah akan muncul para koruptor baru.  Selain  permasalahan terkait korupsi, didaerah muncul permasalahan baru yaitu terkait ekologi. Permasalahan ekologi muncul dikarenakan daerah-daerah di Indonesia memiliki potensi Sumber Daya Alam yang masing-masing dapat di manfaatkan oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup akan tetapi disatu sisi  Sumber Daya Alam tersebut dapat menghasilkan  sumber pendapatan negara dan daerah.

 

Tak pelak banyak yang melirik untuk melakukan investasi atau pun eksplorasi didaerah yang tergolong besar potensi Sumber Daya Alam-nya. Masuknya investor atau swasta  acap kali menimbulkan konflik berkepanjang dalam masyarakat. Otoritas daerah dalam mengeluarkan ijin untuk ekplorasi Sumber Daya Alam untuk swasta tidak terlepas adanya desentralisasi administrasi dimana adanya  didistribusikannya wewengang, tanggung jawab dan keuangan untuk pelayanan publik dari pusat ke daerah. Sehingga  daerah memiliki wewenang atas sumber daya yang di miliki daerah tersebut. Akan tetapi hal tersebut kerap menjadi bomerang sendiri bagi daerah. Karena pasar akan mudah  memasuki dan melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah tersebut, dan tak sedikit mengorbankan aset daerah seperti kekayaan alam yang dimiliki. Walaupun dalam kenyataanya daerah memang masih kalah dengan otoritas  pemerintah pusat, karena peraturan perizinan masih berada di tangan pemerintah pusat, dan daerah menjadi penyedia tempat untuk dijadikan lahan investasi.

 

Seperti yang terjadi di kabupaten Banyuwangi di Gunung Tumpang Pitu, kecamatan Pesanggaran.  Gunung Tumpang Pitu yang awalnya  memiliki status sebagai Hutan lindung yang mana berdasarkan  UU No 14 Tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa kawasan  hutan lindung terlarang untuk kegiatan pertambangan terbuka. Akan tetapi di tahun  2013  status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu tersebut berubah menjadi Hutan Porduksi. Zulfikri Hasan yang saat  itu menjabat sebagai menteri kehutanan menurunkan status hutan gunung tumpang pitu  menjadi hutan produksi, melalui SK menteri Kehutanan No 826/MENHUT-II/2013. Penurunan status tersebut beradasarkan pengajuan dari bupati Kabupaten Banyuwangi Azwar Anas melalui surat No 522/635/429/108/2012. Dengan diubahnya status hutan lindung menjadi hutan produksi, gunung Tumpang Pitu akan mudah dieksploitasi oleh perusaahaan tambang terbuka. Sebelumnya  gunung Tumpang Pitu sudah di ekplorasi oleh perusahaan  IMN  sekiatar 11.621,45. Pada tahun 2012 IMN memberikan surat Bupati terkait perubahan pengalihan IUP kepada PT Bumi Suksesindo, selanjutnya  ditahun yang sama pada bulan Juli terbit surat persetujuan terkiat IUP Ekspkorasi kepada BSI.

 

Seperti dijelaskan pada  paragraf diatas bahwa  10 Oktober 2012 Bupati  Azwar Anas mengajukan perubahan  status hutan lindung dengan luas 9.743,28 hektar  yang berada di wilayah Sukamade, kecamatan Pesanggrahan Banyuwangi, diubah menjadi hutan prosuksi tetap. Akan tetapi menteri kehutanan Zufilkri Hasan  mengabulkan sekitar 1.942 hektar (Mongabay :11 November 2016). Adanya perubahan keputusan dan diijinkannya PT BSI untuk mengesploitasi emas di Gunung Tumpang Pitu, memicu kemarahan masyarakat setempat.  Mengingat penambangan emas sangat merugikan ekologi dan ekonomi. Sawah dan laut menjadi tercemar zat kimia berbahaya seperti sianida. Zat tersebut menjadi ikan-ikan di laut mati sehingga nelayan tidak mendapatkan ikan, selain itu juga gunung Tumpang Pitu sebagai pelindung masyarakat mana kala terjadi tsunami.

 

Persoalan daerah mengenai rusaknya lingkungan tidak saja dialami di Banyuwangi. Seperti di Kota Batu, yang sempat menuai protes masyarakat setempat terkait pembangunan hotel The Rayja di Kota Batu. Hotel  The Rayja mendapatkan  Ijin Medirikan Bangunan  (IMB) dari Walikota Batu Nomor : 180/75/1MB/422.208/2012, tanggal 30 Januari 2012. IMB tersebut tidak kuat  karena hotel The Rayja tidak memiliki AMDAL tapi sudah mulai mendirikan bangunan di jarak 150 meter dari sumber air. Jarak pembangunan  hotel The Rayja menyalahi aturan, menurut PP No.26 tahun 2008 Tentang rencana Tata ruag  Wilayah Nasional  dan PP No. 38 tahun 2011 tentang sungai, serta peraturan daerah Kota batu No.7 tahun 2011 tentang RT/RW Kota Batu tahun 2010-2030 menyatakan , kawasan mata air adalah perlindungan setempat dan harus diilindungi dalam kisaran radius sempadan mata air  yang berjarak 200 meter.

 

Ke dua persoalan di daerah tersebut, terlihat bahwa dengan adanya otonomi daerah, memudahkan  masuknya pihak swasta  dan SDA menjadi sasaran yang paling  disukai oleh swasta.  Maka negara perlu melakukan evaluasi terkait berjalannya otonomi daerah, jika daerah dapat berkembang dan maju hanya untuk segelintir elite yang memiliki modal. Terus otonomi daerah yang di lakukan Indonesia untuk apa dan siapa? Apabila daerah diberi kesempatan mengelola wilayahnya berdasarkan kebutuhan masyarakat beralih pada kebutuhan pemodal. Apabila pemodal di utamakan tak lain karena urusan uang yang masuk di kantong pribadi maupun daerah. Sehingga korupsi tidak lagi dalam ranah fisik uang melainkan korupsi dalam SDA.