Oleh: Achmad Setiawan
Negara kepulauan, tapi bikin pulau. Negara Maritim, tapi Gemar me-reklamasi. Itulah keunikan negara sejuta pesona yang kita tempati ini. Kali ini bukan soal Teluk Benoa, bukan juga soal reklamasi Jakarta. Melainkan menyangkut wilayah tak jauh dari kota Surabaya, kecamatan Ngimboh, kabupaten Gresik tepatnya.
Sepanjang bibir pantai yang mungkin tak lebih dari 10 tahun lalu, yang kala itu banyak kita temui sandaran perahu nelayan, pemandangan laut yang terlihat dekat saat melewati jalanan, tumpukan karang mati tempat bersembunyi keong dan sejenis kepiting-kepitingan, dan beberapa diantaranya kini hanya menyisahkan cerita. Ada yang hilang dari semua itu, akan tetapi tidak banyak diantara mereka yang merasa kehilangan. Entah tempat bermain yang sudah berbeda, ataukah kepedulian yang selama ini tertanam sudah tak berfungsi lagi.
Kemana sosok pemuda usia produktif yang memiliki banyak massa, tenaga, dan kreativitas yang tinggal disana selama ini? Apakah larut dalam eksisnya kelompok motor yang digandrungi oleh sebagian besar pemuda disana? Apakah kenakalan remaja sudah berganti haluan menjadi romantika percintaan ABG? Apakah Mahasiswa-mahasiswa yang berlabel Agent Of Change terlalu sibuk ditanah rantaunya? Ahh ya sudahlah. Mungkin teknologi digital terlalu masif akhir-akhir ini, sehingga pemuda tengah hikmat larut dalam fitur Snapgram yang kini sudah dilengkapi hampir diseluruh jejaring sosial seperti WA, Facebook, dan sebagainya, belum lagi cerita-cerita hoax dari broadcast WA dan BBM sudah menjadi primadona bagi pemuda yang haus akan informasi. Sehingga semua mata tertunduk pada layar smartphone dan lupa akan kondisi sekitar yang sebetulnya lebih membutuhkannya.
Mungkin kondisi diatas menyebabkan pandangan kita akan beringas nya reklamasi, hanya sebatas terjadi di Bali. Lalu lalang pemuda sekitar berkaoskan Bali tolak Reklamasi menyodorkan sebuah pertanyaan, “ jika Reklamasi Bali kau sebut sebagai Ancaman, lalu reklamasi disini kau sebut apa?“. Memang reklamasi yang terjadi tidak se-ekstrem reklamasi teluk Benoa. Namun, bagaimanapun bentuknya, mengalihkan fungsi lahan yang terbentuk secara alami dengan cara menguruk karang oleh pasir dan batuan, sepanjang beberapa ratus meter sudah termasuk bagian dari reklamasi bukan? Apalagi hal diatas tidak berdasarkan pertimbangan ekologi. Jelas hal ini memang sudah sepantasnya dihentikan.
Mengingat wilayah yang awalnya secara bebas bisa diakses baik itu oleh nelayan ataupun warga sekitar yang sekedar berjalan-jalan, harus diprivatisasi oleh pihak yang memiliki kepentingan. Tentu hal ini merugikan, mengingat cukup banyak akivitas warga disana. Selain sebagai nelayan ada pula warga yang membuka tenda kecil untuk berjualan kopi dan beberapa dagangan lain seperti nasi dan rujak untuk mendukung suasana pesisir. Entah simbiosis apa yang hendak dibentuk, yang jelas hingga hari ini kegiatan jual beli pantai yang selanjutnya direklamasi tetap berlanjut. Beberapa diantaranya ada yang masih tahap penggarapan, ada yang sudah ditempati bangunan dan mulai beroperasi, ada pula yang berupa hamparan dan masih tidak jelas akan statusnya.
Meskipun tidak banyak masyarakat yang tergerak akan hal ini, namun beberapa diantaranya sudah melaporkan ke pihak terkait berharap kasus ini selesai. Bukan penyelesaian yang didapat, melainkan penelantaran kasus yang semakin membuktikan betapa kuatnya dominasi kelompok ini dalam bermain. Beberapa nama telah terseret, termasuk mantan kepala desa yang saat ini menjabat sebagai anggota DPRD dan sang istri yang saat ini menjabat sebagai kepala desa Ngimboh juga tidak luput dari kelompok itu. Meski beberapa kali dipanggil kejari Gresik untuk pemeriksaan, nampaknya si kepala desa ini kerap mangkir dari panggilan. Dan sayangnya kasi Intel kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik terkesan bungkam atas skandal ini. Dan Hingga sampai sekarang kasus yang melibatkan para petinggi pemerintahan di Desa Ngimboh Ujungpangkah tersebut itu masih tidak jelas status penyelesaiannya.