Perampasan Tanah dan Reproduksi Pelanggaran HAM Orde Baru

Oleh: Fatimah Suganda

Setelah peristiwa 1965, kondisi-kondisi pelanggaran hak asasi manusia yang terlegitimasi negara dan perangkat-perangkatnya bukan hanya terjadi pada hak asasi manusia bidang hak sipil dan politik semata, namun setelah peristiwa 30 September 1965 terdapat pula pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.

Setelah reformasi, Indonesia memang telah mengesahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan selanjutnya pada tahun 2005, Indonesia mengadopsi Kovenan internasional hak ekonomi, sosial dan budaya yang tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on Economic, social and Cultural Rights).

Namun hingga sejauh ini, hukum hanya tampak sebagai batasan regulasi. Undang-undang yang seharusnya memiliki andil dan keterkaitan dalam peningkatan kualitas hak ekonomi justru berpengaruh pada pengikisan hak ekonomi warga negara di antaranya Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, hingga Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011–2025, yang disingkat dengan MP3EI.

Segelintir produk-produk hukum di atas merupakan produksi dan reproduksi landasan legitimasi Orde Baru dalam proses-proses pembangunan di Indonesia yang sarat menjadi pemicu munculnya  krisis hak ekonomi bagi warga negara.

Land Grab

Pada awal abad 21, fenomena land grab (perampasan tanah) cukup menjadi perhatian khususnya setelah terjadi krisis pangan global pada tahun 2007-2008. Krisis pangan dan energi dunia pada tahun 2007-2008 tersebut memicu aktor-aktor di tingkat internasional baik aktor negara maupun aktor non-negara seperti perusahaan transnasional untuk melakukan suatu pola menuju global land grab. [1]

Tak terkecuali bagi ASEAN dan pemerintah Indonesia. Indonesia sendiri, di bawah kepemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memunculkan MP3EI yang berujung pada munculnya serangkaian proyek-proyek pengadaan dan produksi energi dan pangan untuk tujuan ekspor dari lahan masyarakat yang diambil alih oleh perusahaan swasta dan dilindungi oleh hukum dengan adanya Hak Guna Usaha. Program MP3EI kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Joko Widodo.

Sebelum proyek-proyek pengadaan dan produksi energi dan pangan untuk tujuan ekspor tersebut berjalan, proses produksi dilaksanakan diatas tanah dan lahan milik masyarakat baik masyarakat yang hidup di wilayah pedesaan maupun tanah dan lahan milik masyarakat adat.

Upaya aktor-aktor internasional dalam mengatasi krisis pangan dan energi tahun 2007-2008 dengan global land grab memicu munculnya krisis pemenuhan hak ekonomi bagi masyarakat yang akses terhadap tanahnya dialihkan kepada Hak Guna Usaha perusahaan-perusahaan swasta bidang pangan dan energi, hal ini misalnya yang terjadi pada MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Papua.

 

Land grabbing, bukanlah fenomena baru di Indonesia, land grabbing telah terjadi di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa. Dalam proses land grabbing, Orde Baru mengalihkan kepemilikan dan fungsi lahan milik masyarakat kepada dua sektor yakni kepada Perhutani dan perusahaan swasta dengan adanya Hak Guna Usaha.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Orde Baru dalam proses-proses pengalihan kepemilikan tanah beserta fungsi-fungsinya tersebut diantaranya yakni dengan intimidasi, penyiksaan hingga pembunuhan agar masyarakat berkenan menyerahkan tanah sumber penghidupan mereka kepada negara atau pengusaha swasta dengan Hak Guna Usaha.

Land grabbing pada mulanya dilakukan oleh Orde Baru di tengah kondisi politik yang masih penuh dengan prahara politik setelah peristiwa 30 September 1965, sehingga secara intimidatif, negara dan aparatus negara melakukan labelling kepada masyarakat yang tidak berkenan menyerahkan tanahnya kepada negara untuk dijadikan lahan produksi perusahaan yang akan memperoleh Hak Guna Usaha dari pemerintah Orde Baru ditanah tersebut.

Masyarakat yang tidak berkenan memberikan tanahnya kepada negara mendapat label sebagai bagian dari aktor pemberontakan Gerakan 30 September 1965 yang tertuduh saat itu yakni PKI. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa beberapa masyarakat yang mencoba mempertahankan tanah dan lahannya, mengalami penganiayaan hingga pembunuhan yang dilakukan aparat keamanan bahkan hal tersebut masih terjadi hingga sekarang.

Sejak Orde Baru tumbang hingga saat ini, masyarakat yang dahulu mengalami pengusiran akibat perampasan tanah dan lahan, masih berjuang untuk memperoleh haknya kembali. Terlebih lagi, kekerasan Orde Baru bukan hanya berhenti pada perampasan-perampasan tanah dan lahan yang mengakibatkan pemaksaan program transmigrasi kepada penduduk yang tanahnya diambil paksa untuk perhutani dan Hak Guna Usaha bagi perusahaan.

Namun, konflik-konflik agraria yang difasilitasi oleh hukum berpandangan pembangunanisme ala Orde Baru masih terjadi hingga saat ini seperti yang terjadi di Merauke akibat proyek MIFEE maupun konflik-konflik agraria akibat peran perusahaan swasta yang terlalu leluasa mengendalikan tanah dan sumber-sumber daya yang terkandung di dalamnya baik pada tingkat lokal hingga nasional yang mengakibatkan krisis pemenuhan hak ekonomi berjalan secara terstruktur.

Atas krisis-krisis hak ekonomi yang terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia tersebut, baik yang terjadi sejak era Orde Baru hingga reproduksinya saat ini, negara memang belum sepenuhnya beranjak dari posisi sebagai aktor yang berperan dalam pelanggaran hak asasi manusia. Padahal atas fungsi kontrak sosial, negara harus melindungi masyarakat, di antaranya dalam hal terkait hak asasi manusia.

Hak asasi manusia salah satunya muncul sebagai mandat negara untuk melindungi warga negara, di antaranya dalam fungsi negara  sebagai aktor yang melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan memajukan (to promote) hak asasi manusia di segala bidang, tak terkecuali dalam pemenuhan hak ekonomi.

Indonesia sebagai Sasaran Global Land Grabbing

Orde Baru merupakan gerbang awal masuknya pola-pola land grabbing di Indonesia. Dalam konteks internasional, Land grabbing bermetamorfosa menjadi bentuk peralihan hak penguasaan atas tanah masyarakat yang terjadi dengan cepat yang difasilitasi oleh negara pinggiran (periphery) kepada perusahaan transnasional dari negara maju atau pusat (center).

Penguasaan dan peralihan hak atas tanah dapat melalui mekanisme jual‐beli maupun sewa, dari negara-negara berkembang kepada negara‐negara pusat untuk memasok pengadaan bahan pangan dari negara berkembang tersebut kepada negara pusat dengan jumlah yang tidak pasti.

Selanjutnya, terjadi penanaman modal oleh perusahaan‐perusahaan swasta dari negara-negara pusat tersebut, untuk menghasilkan bahan pangan yang akan diekspor ke negara pusat tersebut. Fenomena land grabbing terjadi di beberapa negara seperti di negara‐negara bekas Uni Soviet, Asia Tenggara, Amerika Latin, dan akan  merambah negara‐negara subsahara Afrika.

Para aktor non-negara seperti perusahaan transnasional dan nasional, hingga pemerintah di level nasional dan lembaga‐lembaga keuangan swasta, mencari tanah‐tanah kosong, bahkan sampai lokasi yang jauh di negara‐negara lain yang bisa digunakan sebagai tempat memproduksi energi dan pangan, khususnya dalam menanggapi krisis pangan dan energi dunia tahun 2007-2008 serta untuk kepentingan profit di masa depan.

Masalah bagi Indonesia saat ini di bidang hak ekonomi salah satunya adalah terkait modifikasi motif-motif land grabbing yang memang sangat merugikan masyarakat dan memicu krisis bahkan pelanggaran hak asasi manusia.

Belum usai penyelesaian kasus-kasus akibat land grabbing yang disebabkan Orde Baru yang berdampak bagi masyarakat yang saat itu tanahnya dirampas oleh negara untuk diberikan sebagai Hak Guna Usaha bagi perusahaan-perusahaan swasta, setelah krisis pangan dan energi dunia tahun 2007-2008, global land grabbing muncul dengan difasilitasi pula oleh negara dengan dibentuknya program MP3EI.

Proses-proses dalam land grabbing menjadi sebentuk fenomena umum pemerintah dalam menerjemahkan fungsi negara sebagai pioner pembangunan berorientasi pasar yang tentu secara tidak langsung menjadi sebuah proses reproduksi sudut pandang Orde Baru dalam melihat dan menerjemahkan pembangunan.

Indonesia sebagai negara berkembang merupakan pangsa pasar tenaga kerja dan sumber daya bagi investasi swasta skala internasional. Bonus demografi angkatan kerja di Indonesia menjadi sasaran utama bagi perusahaan-perusahaan multinasional dalam mencari tenaga kerja murah. Besar peran perusahaan atau swasta dalam mengendalikan ekonomi merupakan  penanda bahwa peran negara dalam upaya memenuhi hak ekonomi masyarakat telah melepaskan kendali.

Fenomena land grabbing sejak Orde Baru hingga semakin menggeliatnya pada global land grabbing dimasa sekarang adalah bentuk nyata betapa lemah posisi negara dihadapan pasar, pasar yang mencari sumber daya alam, tanah dan tenaga kerja.

Lingkar-lingkar pelanggaran hak asasi manusia bidang ekonomi tidak pernah berhenti bahkan terus bermetamorfosis, hal ini semakin dikukuhkan dengan landasan-landasan legitimiasi dan peran negara di dalamnya.

Dahulu, akibat land grabbing, petani, masyarakat pedesaan, masyarakat adat dan segala unsur-unsur yang terkait dengannya mengalami krisis ekonomi hingga harus menjadi buruh di atas tanah atau bekas tanahnya sendiri yang dipaksa diambil alih negara untuk Hak Guna Usaha perusahaan atau pihak swasta.

Contoh nyata dari hal tersebut adalah beroperasinya pertambangan emas di Timika, Papua di bawah kendali PT. Freeport McMoran dan sejumlah perusahaan pangan yang beroperasi di kabupaten Blitar-Jawa Timur.

Kini, pola global land grabbing melanda hampir di seluruh provinsi di Indonesia, baik tanah masyarakat diambil alih negara secara langsung dengan memfungsikan aparatus negara represif kepada masyarakat atau negara memberi Hak Guna Usaha terlebih dahulu kepada swasta.

Sehingga selanjutnya pihak swasta membujuk masyarakat melepaskan tanah sebagaimana yang terjadi dalam program-program di bawah MP3EI, di antaranya yang terjadi pada masyarakat adat Malind-Anim akibat MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Papua.

Reformasi bukanlah hanya pergantian kepemimpinan, namun reformasi adalah perubahan unsur-unsur politik dan hukum dari segala praktik-praktik rezim otoritarian.

Selain secara progresif pada wilayah politik reformasi telah gagal, hal ini ditandai dengan menjabatnya aktor-aktor yang bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu pada struktur pemerintahan saat ini yang justru semakin melanggengkan rantai-rantai impunitas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu terjadi di Indonesia, dalam bidang ekonomi-politik secara progresif Reformasi pun gagal karena setelah reformasi.

Kasus-kasus pelanggaran hak ekonomi masih terjadi bahkan difasilitasi oleh negara dengan hukum dan intervensi politik misalnya dalam hal penguasaan dan perampasan tanah yang diperuntukkan bagi Hak Guna Usaha swasta yang berujung pada land grabbing.

Dalam kasus land grabbing yang terjadi di awal kepemimpinan Orde Baru, setelah runtuhnya Orde Baru masyarakat yang tanahnya dirampas oleh negara untuk Hak Guna Usaha perusahaan swasta, hingga saat ini masih berjuang mencari keadilan di samping praktik-praktik land grabbing sendiri masih terjadi bahkan dengan skala lebih luas dan masih difasilitasi oleh negara salah satunya dengan program MP3EI 2011–2025.

Jika memang ada iktikad dari pemerintah untuk melanjutkan mandat reformasi untuk menuntaskan lingkar-lingkar kekerasan dan krisis hak asasi manusia salah satunya di bidang hak ekonomi, maka salah satu hal yang harus ditempuh pemerintah dan didorong oleh organisasi rakyat serta masyarakat sipil adalah Reforma Agraria. Reforma Agraria di bawah kerangka hukum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

 

 

Catatan Kaki:

[1] Tulisan merupakan refleksi penulis pasca mengunjungi salah satu desa yang terletak di kota Blitar, Jawa Timur, yakni desa Gambar Anyar kabupaten Blitar pada 3 Oktober 2016 lalu. Hasil refleksi berupa artikel telah dipublikasikan di Qureta.com dengan link http://www.qureta.com/post/perampasan-tanah-dan-reproduksi-pola-pelanggaran-ham-orde-baru?page=1 dan di website pribadi penulis yakni http://fatimahsuganda.web.id/ dengan link http://fatimahsuganda.web.id/perampasan-tanah-dan-reproduksi-pola-pelanggaran-ham-orde-baru/