Oleh: Ridwan
Di pesisir selatan Kabupaten Lumajang, Kecamatan Yosowilangun terdapat sebuah desa yakni desa Wotgalih. Secara geografis desa tersebut terletak di sebelah timur berbatasan dengan desa Paseban, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan desa Jatimulyo, Kecamatan Kunir. Sementara di sebelah selatannya berbatasan dengan lautan samudra Hindia yang amat luas dan di bagian utaranya berbatasan dengan beberapa desa di kecamatan Yosowilangun (Yosowilangun Kidul, Tunjungrejo, Krai, Katon dan Darungan).
Secara alamiah sebenarnya desa Wotgalih adalah benteng bagi sebelas desa di kecamatan Yosowilangun dari ganasnya ombak laut selatan samudra Hindia, yang menurut BMKG rentan dan rawan bahaya dari bencana gempa serta gelombang tsunami.
Benteng tersebut adalah berupa gumuk pasir yang secara alami dapat meredam dan membendung ombak laut selatan. Selain itu gumuk pasir ini juga berfungsi sebagai filter (penyaring) air asin lautan menjadi tawar. Buktinya 200 meter/lebih dari bibir pantai airnya tawar dan dapat di gunakan untuk keperluan warga sehari-hari seperti mengairi kebun, sawah, mandi, cuci dan untuk dikonsumsi.
Bahkan bulan juni 1994 saat terjadi gempa 7,2 SR dan berakibat gelombang tsunami yang berkecepatan 600-800 m/jam dengan ketinggian kurang lebih 14 M di Jawa Timur dengan pusat gempa berada di beberapa puluh meter selatan pesisir Sukamade, Banyuwangi, kondisi pesisir Wotgalih dan Lumajang sekitarnya tetap aman.
Padahal bencana tsunami tersebut di tampat lain telah menimbulkan korban di seluruh pesisir selatan Jawa Timur hingga 208 orang tewas, khususnya di Banyuwangi.
Di pesisir selatan Wotgalih tetap aman, karena masih terdapat bersap-sap gumuk pasir yang resapannya sangat cepat sehingga gelombang tsunami tidak masuk ke pemukiman warga yang kurang lebih 600 m dari pesisir, sehingga nyawa warga terselamatkan. Bahkan saat kejadian bencana tsunami tersebut ada sekitar 18 warga nelayan yang sedang mencari reket (rebon terasi) terpental disap gumuk pasir yang paling terakhir dan semuanya selamat .
Namun, pada akhir bulan Mei 2010, warga Wotgalih mulai terancam semenjak gumuk pasir itu akan di tambang, yang akan merusak lingkungan dan bahkan mengancam secara ekologi.
Hal itu ditandai dengan adanya kegiatan sosialisasi PT. ANTAM pada tanggal 22 Mei 2010 di balai desa Wotgalih yang dihadiri berbagai tokoh masyarakat, tokoh agama, Muspika, dan beberapa anggota DPRD kabupaten Lumajang.
Isi sosialisasi tersebut antara lain, akan mengembangkan pariwisata desa Wotgalih dengan membangun lapangan balap motor, lapangan pacuan kuda serta pembuatan pelabuhan untuk pengangkutan hasil tambang di wilayah pesisir tersebut.
Dalam kegiatan tersebut seluruh peserta perwakilan warga dalam sesi tanya jawab menolak adanya penambangan karena akan membawa dampak negatif. Akibat dari penolakan warga Wotgalih tersebut terhadap tambang, empat warga Wotgalih (Artiwan, Muhin, Fendik dan Samsuri) dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum dengan pasal 335 KUHP dan divonis selama lima bulan dua hari.
Saat warga Wotgalih mayoritas menolak tambang pasir besi, tiba-tiba ada salah satu warga baru yang bernama Siswanto, yang baru pindah sekitar November 2011, malah memiliki niat lain.
Hal ini bermula dari tanggal 15 Maret 2013, di mana Siswanto secara diam-diam tanpa sepengetahuan warga Wotgalih sekitar jam 00.35 WIB, memasukkan alat berat dengan di kawal oknum Babinsa Wotgalih untuk membuat lapangan pacuan kuda, lapangan balap motor, pelebaran akses jalan wisata dan pemandian.
Namun pagi harinya, jam 08.30 WIB, ketika alat berat baru bekerja dan kebetulan Siswanto sedang mengawasi, beberapa warga akhirnya menghampir Siswanto untuk menghentikan alat berat yang sempat bekerja dan telah merusak beberapa pohon yg ditanam warga untuk penghijauan wilayah pesisir selatan Wotgalih.
Kemudian aksi warga tersebut dibalas Siswanto dengan pernyataan “jangankan banyak orang yang menolak ,1 orang aja aku gagalin untuk bangun lapangan pacuan kuda”. Akhirnya alat berat di keluarkan dari wilayah pesisir pantai wotgalih.
Siswanto ini, rumahnya di kawal setiap harinya oleh 4 orang satpam secara bergantian. Dan ia memiliki kebiasaan sering mendatangkan tontonan dangdut hampir setiap bulan sebanyak dua kali dirumahnya, bahkan mengundang beberapa pejabat penting dari kabupaten Lumajang.
Selanjutnya, tanggal 17 Juni 2015, dengan mengundang perangakat desa, anggota BPD, ketua RT/RW dan Pokdarwis, serta beberapa anggota Polsek dan beberapa anggota Koramil Yosowilangun, dengan dalih acara kerjabakti di tempat wisata pesisir selatan desa Wotgalih.
Kembali lagi, pihak pemerintahan desa Wotgalih memasukkan alat berat yang di sewa dari pemborong perbaikan jalan raya jalur lintas selatan kewilayah pesisir selatan pantai Wotgalih tanpa sepengetahuan warga. Akhirnya warga menghadang alat tersebut di perempatan rumah pak Wangi, yaitu akses jalan menuju wisata pantai selatan Wotgalih.
Sebelum alat berat datang, warga di fasilitasi oleh Babinmas dan Babinsa bernegosiasi oleh pihak pemerintahan desa. Pihak desa mengatakan bahwa alat berat tersebut di dioperasikan lewat dana hibah yang berasal dari Siswanto untuk pengembangan wisata, pembuatan pelebaran jalan wisata, lapangan pacuan kuda, lapangan balap motor dan pemandian.
Namun saat negosiasi yang terjadi pada 08.45 WIB, alat berat tersebut datang dari arah Barat. Namun warga berhasil mencegahnya. Mengapa warga kembali menolak? Sekali lagi, warga merasa semua isu pengembangan pariwisata hanyalah modus untuk memasukkan kegiatan tambang di pesisir Wotgalih. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus pembunuhan Salim Kancil, desa Selok Awar-awar, Lumajang. Sebelum peristiwa itu meletus, pemerintah desa Selok Awar-awar juga mengembuskan isu pembangunan kawasan pariwisata di pesisir Selok Awar-awar. Namun, pada akhirnya, pengembangan pariwisata tersebut hanya menjadi pintu masuk untuk membawa pasir besi yang terdapat di Selok Awar-awar, yang dengan kata lain “kegiatan tambang”.
Beberapa hari yang lalu (Desember 2016), isu bahwa alat berat mau masuk kembali ke kawasan pesisir selatan pantai Wotgalih terhembus kuat. Kali ini yang beredar adalah akan adanya pembangunan pelabuhan. Dan yang memprakarsai isu ini terus menguat adalah pihak pemerintahan desa Wotgalih. Dalam isu ini juga tetap beredar kabar bahwa Siswanto adalah investor/pemodal utama.
Kami sampai sekarang tetap berupaya secara prosedural dan nonprosedural menolak adanya kedok pengembangan pariwisata membuat lapangan pacuan kuda dan lapangan cross di wilayah pesisir selatan pantai Wotgalih, karena kami berkaca pada kasus “Salim Kancil”.
Inilah yang disebut sebagai kedok pengembangan tempat pariwisata untuk kepentingan perorangan dengan dalih untuk kepentingan rakyat banyak. Dari tulisan ini bisa di ambil satu pelajaran, bahwa jangan sampai terlena dengan hal-hal yang berkedok pembangunan pariwisata atau apapun bentuknya yang mengancam kerusakan lingkungan dan bahkan mengancam keselamatan nyawa manusia itu sendiri.