Ketika Ruang Publik Beralih Fungsi Menjadi Bukan Untuk Publik

Oleh: Musdalifah Rahman

Tentang kecarut-marutan bangsa ini, siapapun bisa siaga memberi kontribusi dengan mencari akar permasalahan dan action atas solusi. Hal tersebut dapat dimulai dengan merangkai seluruh sejarah, mengumpulkan konflik-konflik lingkungan, politik, kearifan lokal hingga konflik sosial sehingga membentuk kurva dua titik. Maka jika ditarik seperti garis lurus dari titik X menuju titik Y, siapapun akan pasti mendapati bahwa sumber dari ketidaktotalan kemerdekan bangsa yang dikatakan telah merdeka di teks proklamasi ini yakni mengakarnya sifat “KETAMAKAN”. Itulah mengapa saya begitu percaya bahwa negara yang sedang menuju keadaan kritis stadium akhir ini sebenarnya hanya butuh orang-orang dari profesi manapun yang bekerja karena dua hal; mengharapkan keridhoaan Allah SWT dan kecintaan tulus kepada bangsa ini, bukan karena berlomba-lomba menebalkan isi saku apalagi meluap-luapkan popularitas. Dan akhirnya saya selalu mengambil kesimpulan begitu cepat dan barangkali terdengar begitu menghakimi bahwa bobroknya bangsa ini karena mayoritas penduduknya yang menjadi politikus, konsultan, dokter, dosen, guru, pengusaha dan profesi apapun, telah tergeruk fokusnya hanya pada dua hal “uang dan jabatan”.

Wujud ketamakan yang dapat dilihat di beberapa wilayah di Indonesia yakni persoalan eksistensi ruang publik di wilayah perkotaan yang bertransformasi dari fungsi asalnya. Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yakni ruang publik dikatakan dapat berupa Ruang Terbuka Hijau Publik atau Ruang Terbuka Non Hijau Publik, yang secara institusional harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kota-kota di Indonesia. Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial. Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi didalam kota (Lynch, 1960). Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik.

Dikatakan pula bahwa Ruang Publik secara spasial didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Jika definisi ini diekspektasikan ke lapangan maka hasilnya menjadi sangat bertolak belakang. Beberapa ruang publik di Indonesia telah beralih fungsi menjadi ladang meraup keuntungan, seperti dibebankannya pengunjung dengan biaya masuk area ruang publik, uang parkir dan parahnya pengunjung juga dikenakan biaya atas penggunaan toilet, seperti yang terjadi di Taman Kota Kilisuci di daerah Pare, Kediri.

Salah satu pernyataan akademisi ternama di Kota Surabaya yang begitu menggelitik adalah bahwa mall atau pusat-pusat perbelanjaan dapat difungsikan sebagai ruang publik. Sampai kapanpun, keberadaan Mall tidak akan pernah menjadi ruang publik utuh, meski belakangan ini tempat tersebut dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan. Mall tetap menampilkan wajah yang lebih, karena privat dimana orang yang berada disana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan.

Dalam tulisan ini saya ingin mengambil sampel salah satu ruang publik perkotaan di Makassar yang lambat laun mengalami pengalih-fungsian menjadi ruang bukan publik. Lapangan Karebosi merupakan salah satu ruang publik terbesar di Kota Makassar. Berdasarkan Perda Makassar No.6/2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005-2015, persentase luas Ruang Terbuka Hijau ditargetkan 5% dari kawasan pusat kota. Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang public diharapkan dapat berfungsi secara ekologis,sosial/budaya arsitektural ekonomi yang meningkatkan kualitas air tanah,mencegah banjir mengurangi polusi udara dan menurunkan temperature kota dan menjadikan keteduhan pada Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang public. Dalam perspektif sejarah, lapangan Karebosi, mempunyai sejarah panjang tersendiri. Beragamnya dokumen sejarah lapangan Karebosi, tidak berarti bahwa nilai kesejarahannya harus dihancurkan beserta situsnya yang sudah ada. Lapangan Karebosi, tidak hanya dilihat sebagai ruang publik semata, tetapi juga sebagai simbol sosial kebudayaan dan kecintaan masa lalu kota. Sungguh aneh, lapangan Karebosi yang juga berfungsi sebagai arena olahraga, harus berbaur dengan kesumpekan dan polusi udara, yang diakibatkan oleh adanya terminal bayangan di pusat niaga bawah tanah.

Pada tahun 1970-an, lapangan Karebosi, sangat jarang terjadi banjir. Seiring dengan pesatnya pembangunan, dengan berdirinya tembok-tembok beton, dan juga tidak didukung oleh sistem drainase yang baik, maka lapangan Karebosi menjadi tambak di tengah kota. Penggenangan air di lapangan Karebosi, tidak berarti menunjukkan lapangan Karebosi sebagai kawasan banjir. Luapan air lapangan Karebosi berfungsi sebagai air genang untuk kembali terserap dalam tanah, sekaligus pengisian cadangan air tanah.

Pengalih-fungsian lapangan Karebosi, menunjukkan bahwa pemkot lebih mengikuti kemauan pasar dan tunduk pada pemodal. Dinamika pembangunan pengalih-fungsian lapangan Karebosi, yang sarat dengan pelanggaran hukum, tidak hanya dilihat dari aspek sosial, budaya, dan lingkungan semata. Namun, yang lebih menarik adalah aspek ekonomi dan politiknya. Posisi strategis lapangan Karebosi memang, sangat menjanjikan untuk pusat niaga dan potensinya yang begitu besar. Maka, banyak pemodal yang menginginkan lokasi karebosi sebagai tempat berdirinya usahanya. Watak monopoli dan kerakusan melintasi batas-batas; birokrasi, regulasi, moral, dan toleransi. Aset-aset negara seperti ruang publik, ruang terbuka hijau (RTH), rawa kota, hutan mangrove kota, diprivatisasi dengan melepas-jual pada pemodal, untuk membuat mal-mal, ruko, real estate, dan tempat hiburan lain.

Dalam beberapa tahun terakhir, lapangan Karebosi sering mengalami banjir jika musim hujan. Pada kondisi banjir yang paling parah, seluruh permukaan lapangan bisa tergenang dan lapangan berubah menjadi danau. Hal ini diakibatkan karena lapangan Karebosi, menurut pengukuran terakhir tahun 2006, berada pada elevasi antara minus 50 – minus 80 cm dari permukaan jalan. Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah lapangan Karebosi sendiri diapit oleh jalan raya serta bangunan-bangunan tinggi di keempat sisinya, sehingga air hujan tumpahnya ke lapangan Karebosi. Dengan saluran pembuangan yang ada sekarang, praktis volume air hujan yang cukup tinggi di musim hujan, khususnya di bulan Nopember sampai Januari, bisa menenggelamkan seluruh permukaan lapangan, belum lagi jika hujan deras bersamaan dengan saat pasang permukaan air laut.

Karena itulah, pemerintah kota Makassar berniat melakukan perbaikan. Akan tetapi pemerintah terbentur dengan biaya yang tidak sedikit. Pada rencana pertama, pemerintah ingin menawarkan pekerjaan ini kepada investor, tetapi tentu saja tidak akan ada yang berminat karena tidak adanya nilai ekonomis sebagai return.

Akhirnya pemerintah melakukan sayembara desain revitalisasi lapangan Karebosi pada pertengahan tahun 2006, dengan tujuan mencari masterplan yang jadi acuan pemerintah kota serta diharapkan bisa menggaet investor. Dogma bahwa untuk menyelamatkan dan meningkatkan perekonomian nasional dan daerah, adalah dengan investasi. Hal ini kemudian yang dipakai oleh pengambil kebijakan pada level nasional dan daerah. Terbukti, selama lima puluh tahun, investasi modal tidak dapat mengeluarkan umat manusia dari kemiskinan. Justru semakin banyak orang miskin di Indonesia, tak terkecuali kota Makassar.

Mengembalikan karakter-fungsi lapangan Karebosi menjadi halaman kolektif publik, memang tidak mungkin. Namun, belum terlambat untuk merefleksi dan menyadari bahwa ruang yang tersisa masih dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik. Seharusnya, solusi publik dapat dipertimbangkan sebagai berikut;

Pertama, ruang yang tersisa diproyeksikan sekitar 30 persen untuk ruang publik dan ruang terbuka hijau, sesuai dengan amanah Undang-Undang Penataan Ruang. Kedua, konservasi ruang yang berfungsi sebagai kawasan resapan air seperti rawa dan telaga kota. Ketiga, pengwilayahan sektor-sektor yang tidak tumpang tindih. Keempat, meninjau kembali kebijakan transportasi, dari segi luas kota, panjang jalan, jumlah kendaraan, atas perimbangan perdagangan kendaraan. Kelima, birokrasi yang bersih dan para pengambil kebijakan atau legislasi yang mempunyai komitmen politik yang konsisten.

Ternyata, pembangunan alih fungsi dan komersialisasi lapangan Karebosi dan ruang publik adalah sebuah ironi. Dengan mengubah karakter-fungsional lapangan Karebosi dan ruang publik, berarti pemkot tidak mengerti anthropologi dan sosiologi perkotaan. Orang-orang yang menjual Karebosi dan ruang publik apapun di Indonesia dengan berasas pada kepentingan pihak tertentu adalah wujud pribadi yang memiliki sifat ego dan ketamakan di dalam dirinya.

Ruang publik dan seluruh jenis penggunaan lahan yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau, area peminimalisir potensi bencana hingga kearifan lokal suatu wilayah harus dilestarikan. Namun seluruh komponen lingkungan tempat kita tinggal adalah segala sesuatu yang harus siaga dilakukan. Beberapa komponen lingkungan yang harus dilestarikan tersebut yakni sebagai berikut;

  1. Menjaga Kelestarian Air

Setiap makhluk hidup membutuhkan air. Manusia membutuhkan air untuk minum, mandi, mencuci, memasak, dan lain-lain. Air untuk minum harus dimasak lebih dulu agar kuman-kuman-nya mati. Hewan memerlukan air untuk minum dan mandi. Tumbuhan memerlukan air untuk pertumbuhan dan kesu- burannya. Air merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga keberadaan dan kebersihannya. Air yang kotor atau tercemar tidak dapat dimanfaatkan. Air yang kotor atau tercemar dapat membahayakan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Kelestarian air dapat dijaga dengan cara antara lain:

  1. Tidak membuang sampah di sungai atau saluran air
  2. Melakukan kegiatan penghijuan atau penanaman pohon yang dapat berfungsi sebagai penahan dan penyimpan air
  3. Menggunakan air sesuai kebutuhan
  4. Air bekas cucian dan mandi diusahakan tidak langsung meresap ke dalam tanah, tetapi dialirkan ke saluran pembuangan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi pencemaran air tanah.

 

  1. Menjaga Kelestarian Udara

Udara sangat penting bagi kehidupan manusia. Setiap makhluk hidup di bumi membutuhkan udara.Manusia dan hewan memerlukan udara untuk bernapas. Tanpa udara semua makhluk hidup akan mati. Udara perlu dijaga kebersihannya. Asap pabrik dan asap kendaraan bermotor dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Pencemaran udara sama dengan polusi udara. Untuk mengurangi pencemaran udara, pabrik-pabrik yang besar harus menggunakan cerobong asap. Udara yang bersih baik untuk kesehatan badan. Untuk mengurangi terjadinya pencemaran udara sebaiknya di kanan kiri jalan ditanami pohon. Kamu juga harus ikut serta dalam menjaga kebersihan udara.

  1. Menjaga Kesuburan Tanah

Tanah merupakan tempat hidup bagi makhluk hidup. Semua hasil pertanian, perkebunan, tambang, dan hasil bumi lainnya berasal dar tanah. Tanah yang subur dapat menghasilkan tanaman yang baik. Tanah yang tandus perlu diolah agar menjadi subur. Sampah dari daun baik untuk menyuburkan tanah.Untuk menjaga kelestarian tanah tanamilah tanah kosong di sekitarmu agar tidak menjadi tandus. Tanah harus diolah dengan pengairan dan pemupukan yang benar.

Kelestarian tanah juga dapat dilakukan dengan cara tidak membuang sampah di sembarang tempat. Sampah harus dibuang di lokasi pembuangan yang semestinya. Sampah yang kita buang umumnya terdiri atas sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup. Contoh sampah organik adalah daun-daun, sisa-sisa makanan dan sebagainya. Sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari benda tak hidup. Contoh sampah anorganik antara lain kaleng, botol, dan plastik. Sampah organik dapat membusuk dan terurai oleh bakteri atau jamur sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan. Sementara sampah anorganik tidak dapat terurai sehingga akan merusak kelestarian tanah. Oleh karena pentingnya tanah, air, dan udara maka jagalah kelestarian tanah, air, dan udara di sekitarmu. Hal ini bertujuan agar dapat terus memberikan manfaat bagi kehidupan.