Tidak Patuhi Putusan Mahkamah Agung, Walikota Surabaya Lakukan Tindak Pidana Jika Terus Tutupi Dokumen Alih Fungsi Waduk Sepat

Rilis Media

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur

 

Rabu (15/3), WALHI Jatim, LPBP, dan LBH Surabaya mendatangi Balai Kota Surabaya untuk meminta Pemerintah Kota Surabaya mematuhi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.438 K/TUN/2016 yang menyatakan menolak permohonan kasasi Walikota Surabaya terhadap gugatan informasi publik yang sebelumnya telah dimenangkan oleh WALHI Jatim. Gugatan informasi yang dimenangkan oleh WALHI Jatim sendiri pada intinya menyatakan bahwa Walikota Surabaya WAJIB membuka dokumen-dokumen aktivitas PT Ciputra Surya diatas lahan Waduk Sepat, antara lain:

  1. Dokumen-dokumen surat keputusan yang menjadi dasar pengalihan fungsi Waduk Sakti Sepat di Kelurahan Lidah Kulon
  2. Izin melakukan usaha yang dimiliki PT Ciputra Surya, Tbk di atas lahan Waduk Sakti Sepat di Kelurahan Lidah Kulon
  3. Dokumen-dokumen lingkungan (AMDAL, UKL/UPL, Izin Lingkungan) atas PT Ciputra Surya, Tbk dalam melaksanakan usaha diatas lahan Waduk Sakti Sepat di Kelurahan Lidah Kulon.

Keputusan MA telah ditetapkan sejak 13 Oktober 2016, namun hingga sekarang Pemerintah Kota Surabaya sama sekali tidak menunjukkan itikad baik untuk segera melaksanakan putusan tersebut. WALHI Jatim sendiri telah berkirim surat sejak tanggal 8 Maret 2017 untuk mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya agar segera membuka dokumen-dokumen publik yang diminta sesuai putusan MA tersebut, namun hingga batas 7 x 24 jam sebagaimana disebutkan dalam surat, Pemerintah Kota Surabaya tetap tidak merespon surat tersebut. Oleh karena itu, WALHI Jatim, LPBP dan LBH Surabaya mendatangi Balai Kota Surabaya untuk kembali mengingatkan bahwa jika Pemerintah Kota Surabaya tetap tidak mau membuka dokumen-dokumen yang diminta tersebut, maka hal ini adalah bentuk pembangkangan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Untuk diketahui, kasus Waduk Sakti Sepat berawal dari Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008 yang melepaskan tanah tersebut kepada PT Ciputra Surya, Tbk sebagai bagian dari obyek tukar guling antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Ciputra Surya, Tbk berdasarkan Perjanjian Bersama Nomor 593/2423/436.3.2/2009 dan Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, tertanggal 4 Juni 2009. Tukar guling ini sendiri merupakan bagian dari pembangunan Surabaya Sport Centre (SSC) di Pakal. Dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikeluarkan pasca tukar guling tersebut, wilayah Waduk Sepat dinyatakan sebagai “tanah pekarangan”, padahal hingga kini, kawasan tersebut masih berfungsi sebagai waduk.

Protes warga terhadap alih fungsi Waduk Sepat, beberapa kali harus berakhir dengan bentrokan yang mengakibatkan korban luka pada pihak warga. Pada 4 Juli 2011, warga yang melakukan penolakan terhadap pemagaran wilayah Waduk Sepat harus menghadapi ancaman kriminalisasi, meskipun kemudian dihentikan setelah ada mediasi dari Komnas HAM. Pada tanggal 14 Agustus 2015, pengosongan paksa dan pemagaran yang dilakukan oleh pihak pengembang dibantu kepolisian terhadap lahan tersebut mengakibatkan beberapa warga mengalami luka dan terdapat barang-barang warga yang dirusak selama proses tersebut. Akibat pemagaran yang dilakukan, aset warga seperti musholla yang terletak didalam kawasan tersebut juga menjadi tidak bisa lagi diakses.

Wilayah Waduk Sepat pada mulanya adalah Tanah Kas Desa (TKD) atau bondho deso yang merupakan hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat. Wilayah tersebut berupa Waduk seluas sekitar 66.750 m2 terletak di wilayah RW 03 dan RW 05 Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya.  Secara turun temurun masyarakat di Dukuh Sepat telah membentuk ikatan tradisi dengan wilayah tersebut, hal ini nampak misalnya pada ritual bersih desa di tempat tersebut yang dilakukan di wilayah Waduk Sepat.  Pengambilalihan Waduk Sepat karenanya telah melanggar hak tradisional masyarakat, karena wilayah tersebut telah menjadi pengikat solidaritas kehidupan kolektif mereka.

Waduk Sepat bukan satu-satunya waduk atau embung yang hilang di kawasan Kecamatan Lakarsantri dan sekitarnya, sebelumnya sebuah waduk yang dikenal masyarakat sebagai Waduk Jeruk juga sudah menghilang berubah menjadi kawasan pemukiman elit.  Padahal, waduk-waduk tersebut mempunyai beragam fungsi dalam mayarakat. Secara ekologis, waduk menjadi habitat alami bagi berbagai jenis ikan dan burung lokal maupun migrasi. Secara ekonomi, keberadaan waduk yang juga difungsikan sebagai area pemancingan dan pertanian juga turut mendongkrak ekonomi warga disekitarnya. Secara sosial, sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, waduk telah menjadi pengikat kultural dalam masyarakat. Menghilangkan waduk-waduk tersebut pada dasarnya adalah menghilangkan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Keberadaan waduk sebagai bagian dari sistem pengairan yang selama ini digunakan juga turut membantu mengatasi banjir dan kekeringan bagi pertanian di sekitarnya. Seperti kita ketahui, kawasan Surabaya Barat adalah wilayah yang rentan menghadapi bencana ekologis seperti banjir. Hampir di setiap musim penghujan, wilayah ini adalah langganan banjir dengan intensitas tinggi. Melepas wilayah-wilayah resapan air seperti waduk dan embung di Kawasan Surabaya Barat dan menyulapnya menjadi pemukiman elit merupakan kegagalan penataan kawasan yang menyumbang dampak terbesar peningkatan resiko bencana ekologis seperti banjir dikawasan ini.

Menimbang kenyataan bahwa Walikota Surabaya, Tri Rismaharini selalu mengusung pendekatan yang “berwawasan lingkungan” dalam visi pembangunan kota, berlarut-larutnya kasus Waduk Sepat menjadi pertanyaan besar terhadap citra tersebut. Meskipun tukar-guling lahan terjadi di era sebelum Risma menjadi walikota, namun pembiaran terhadap kasus ini yang terjadi selama beliau menjabat menjadi Walikota nampak tidak sesuai dengan citra “berwawasan lingkungan” yang diusungnya. Ketidaksediaan Walikota Surabaya untuk membuka informasi terkait keabsahan pengelolaan wilayah Waduk Sepat oleh PT Ciputra Surya Tbk semakin memperparah kondisi tersebut.

Komitmen jajaran Pemerintahan Kota Surabaya terhadap kondisi lingkungan hidup akan nampak dari kemauan mereka membuka informasi publik terkait proses alih fungsi wilayah Waduk Sepat dan keabsahan aktifitas usaha diatasnya. Oleh sebab itu, dengan telah keluarnya putusan MA ini, tidak ada alasan bagi Walikota Surabaya untuk tidak segera menyerahkan dokumen-dokumen yang dimintakan terkait tukar guling dan alih fungsi lahan Waduk Sakti Sepat sesuai amanat persidangan. Karena kebutuhan membuka dokumen-dokumen tersebut ditujukan sebagai bagian dari upaya pemantauan praktek pengelolaan wilayah yang ada dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis dan penyelamatan ruang hidup rakyat.

Kontak Media: Rere Christanto (Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim) – 083857642883

WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI) JAWA TIMUR

LASKAR PEMBELA BUMI PERTIWI (LPBP) SEPAT, LIDAH KULON, SURABAYA

LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) SURABAYA