Masyarakat Trenggalek yang Tidak Ingin Ada Tambang Emas di Wilayah Mereka (Bagian – 2)

bukit-yang-akan-ditambang-bila-pemerintah-mengijinkan-perusahaan-tambang-emas-mengeksploitasi-kawasan-ituMasyarakat Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, sepakat menolak rencana perusahaan tambang PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang akan melakukan eksplorasi di desa mereka. Khususnya, wilayah gunung Semungklung.

Warga menolak karena takut terhadap dampak yang akan ditimbulkan, terutama kerusakan lingkungan seperti yang terjadi di lokasi pertambangan lainnya di Indonesia. Supandi, masyarakat Sumberbening mengatakan, informasi adanya kandungan emas di desanya membuat warga khawatir akan dilakukannya penambangan. Dikhawatirkan, mengancam kehidupan masyarakat yang bergantung pada alam pegunungan Semungklung.

“Masyarakat awam tentang pertambangan, yang selalu didengar adalah permasalahannya seperti longsor, limbah, dan sebagaimana yang terjadi di Porong, semburan lumpur yang tidak kunjung berhenti.”

Sosialisasi perusahaan yang minim juga menjadi alasan penolakan masyarakat. Terlebih, saat survei hingga pemasangan kabel dan patok penanda lokasi, warga dan aparat desa tidak diajak bicara terlebih dahulu.

Penolakan warga terhadap rencana aktivitas pertambangan emas sempat dilakukan dalam bentuk unjuk rasa di balai desa. Warga bahkan, akan melakukan aksi yang sama bila perusahaan tambang masih berniat melakukan eksplorasi.

“Bagaimana jadinya kalau desa ditambang. Bagaimana nasib lahan pertanian kami? Memang, ada yang berpendapat boleh ditambang asal ada ganti rugi, karena tidak bisa menolak bila pemerintah yang minta. Tapi, bila tidak ada kompensasi tidak akan dilepas,” ujar Supandi menuturkan beberapa pendapat warga.

Warga yang menolak, menyadari akan banyak perubahan pada lingkungan desa, terutama hilangnya hutan lindung, mata air, persawahan dan tempat masyarakat bercocok tanam. “Sebagian masyarakat ada yang berpikir anak cucu, jadi tidak akan melepas lahan.”

Sejumlah warga desa lain juga melakukan penolakan terhadap rencana penambangan emas di Trenggalek. “Kami yang tinggal di hilir juga khawatir bila Sumberbening ditambang. Limbahnya pasti ke desa kami, sungai tercemar, dan tanaman padi akan rusak,” ujar Eko, warga Kecamatan Panggul.

Perusahaan tambang emas PT. SMN menurut Kepala Desa Sumberbening, Suyanto, berupaya mendekati warga melalui sosialisasi pasca-penolakan 2014. “Namun, datangnya alat-alat untuk mengambil sampel tanah justru membuat warga khawatir dan menolak proyek itu.”

Suyanto mengungkapkan, penolakan tambang sempat disampaikan warga menjelang kampanye, kepada calon Bupati Trenggalek, Emil Elestianto Dardak, yang akhirnya menjadi pemenang Pilkada 2015. Di Desa Sumberbening, penolakan paling kencang datang dari warga Dusun Pelem, Dusun Krajan, dan Mloko. Mayoritas masyarakat menolak karena aspek lingkungan hidup yang akan rusak dan merugikan masyarakat. “Pak Emil bicara langsung ke masyarakat, dan mengatakan menolak tambang. Itu komitmennya soal rencana eksplorasi,” tandas Suyanto.

Tolak tambang

Aksi tolak tambang juga dilakukan warga Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Juli 2016, setelah mengetahui adanya survei eksplorasi tambang emas tanpa ada izin kepada warga.

Suhari, Ketua RT 23 Dusun Kajar, Desa Dukuh, mengatakan penolakan warga dilakukan di balai desa untuk meminta penjelasan kepala desa mengenai survei perusahaan itu. Suhari menegaskan, penolakan warga dilakukan karena khawatir lingkungan dan desa tempat tinggal mereka bakal rusak dan mengganggu perekonomian. “Mereka pasang patok tanpa izin.”

Sebelumnya, warga telah mendengar informasi akan dilakukan eksplorasi di kawasan hutan wilayah Kecamatan Kampak, tidak jauh dari Watulimo. Namun, wilayah itu dikelola Perhutani. Pasca- aksi, warga memasang baliho di sejumlah titik Desa Dukuh, isinya penolakan tambang emas di desa. “Warga dipastikan menolak bila perusahaan berusaha masuk,” kata Suhari.

Bupati Trenggalek, Emil Elestianto Dardak, saat menghadiri acara di Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, akhir Oktober 2016 menegaskan, pihaknya berjanji tidak akan memberi izin tambang, bila masyarakat tidak mau ada tambang di wilayahnya.

“Komitmen itu saya buktikan ketika PT. SMN datang ke saya minta izin lingkungan. Saya minta mereka tanda tangan di atas materai untuk tidak menggarap sebelum masyarakat Sumberbening setuju.”

Aktivitas yang dilakukan di sejumlah wilayah Trenggalek, kata Emil, baru sebatas mengukur potensi kandungan emas, sehingga diyakini tidak akan merusak lingkungan. Investasi pertambangan emas, merupakan salah satu faktor penggerak dan pembangkit perekonomian suatu daerah. Namun demikian, karpet merah bagi investasi bukan yang utama dibandingkan menjaga dan mempertahankan karakter serta identitas daerah tersebut.

“Kita memberi karpet merah untuk investasi, tapi tidak mendewakan investasi. Jangan kita melacurkan apa yang menjadi karakter dan identitas kita, alam kita tidak kita gadaikan,” tandasnya.

Sejauh ini, Pemerintah Kabupaten Trenggalek baru memberbolehkan dua wilayah untuk di eksplorasi, yaitu Sumberbening dan Watulimo. Namun, Emil menegaskan tidak akan mengizinan penambangan di wilayah yang telah menjadi kawasan wisata, sandaran ekonomi, serta kehidupan masyarakat. “Seperti di Watulimo, kalau mau nambang di kawasan pariwisata saya tidak izinkan.”

Gubernur Jawa Timur saat dikonfirmasi mengenai aktivitas tambang emas di Trenggalek, mengatakan belum mengetahui hal tersebut karena belum ada pengajuan izin. “Trenggalek belum tahu, kalau di Silo dan Jember sudah ada Antam yang mengajukan,” kata Soekarwo.

Soekarwo menegaskan, segala kegiatan eksplorasi harus mengajukan izin ke pemerintah provinsi. Bila tidak ada izin dianggap aktivitas ilegal. “Belum ada izin. Survei harus izin, kalau ilegal ya kami tidak tahu dan tidak bisa menjawab.”

Tambang merusak lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menilai rencana penambangan emas di Kabupaten Trenggalek hanya akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana yang merugikan masyarakat.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Rere Christanto, tidak pernah ada dalam sejarah, pertambangan tidak merusak lingkungan, meskipun dengan memanfaatkan teknologi sedemikian rupa. “Di berbagai kasus, ketika tambang beroperasi, akan ada kerusakan yang besar. Sebut saja di Tumpang Pitu, bisa dilihat dampaknya sekarang seperti apa.”

Meski belum berlangsung lama, keberadaan aktivitas di gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi sudah memberikan level kerusakan yang cukup tinggi. Banjir yang diakibatkan aktivitas pertambangan telah menutup sekitar empat kilometer kawasan pantai di sekitar Pulau Merah. Termasuk, kawasan wisata dan pusat perekonomian masyarakat yang sebagian besar bergantung dari kegiatan menangkap ikan.

“Selain itu juga ada Jember, Lumajang, Malang, dan Blitar, yang menunjukkan kerusakan lingkungan dan potensi konflik sosial yang cukup besar.”

Di Malang, pertambangan pasir besi telah menimbulkan konflik dengan masyarakat penggarap ladang sekitar, mereka diserang preman pertambangan. Sementara di Lumajang, konflik tambang pasir besi menimbulkan korban jiwa, yaitu almarhum Salim Kancil yang merupakan warga sekaligus aktivis lingkungan setempat. “Kita melihat, tidak ada pertambangan yang tidak menimbulkan konflik, karena di kawasan tambang selalu berhadapan dengan wilayah produktif masyarakat.”

Konflik di daerah yang menghasilkan bahan tambang tidak dapat dilepaskan dari kondisi wilayahnya sendiri, yang memiliki banyak sumber mata air dan potensi sumber daya alam untuk kebutuhan hidup orang banyak. Keberadaan tambang dipastikan akan mengancam sumber-sumber penghidupan warga seperti pertanian, peternakan, dan perikanan.

“Jelas akan berpengaruh langsung terhadap hajat hidup masyarakat, karena itu kebutuhan utama masyarakat. Baik untuk air bersih, pertanian, juga pekerjaan dan kehidupan warga.”

Rere menegaskan, kerusakan alam di hulu yang menghilangkan sumber mata air pegunungan tidak hanya merusak alam, melainkan juga mempengaruhi alur rantai kerusakan hingga hilir. Desa-desa yang tidak termasuk wilayah konsesi, dipastikan merasakan imbas kerusakan di hulu.

Masyarakat dapat menolak, wilayahnya yang dijadikan kawasan tambang, bila hal itu dirasa merugikan dan menghilangkan kehidupan masyarakat. Ini sebagai bentuk pemahaman masyarakat mengenai keselamatan hidupnya, yang akan bereaksi bila keberadaannya terancam.

“Ketika masyarakat tinggal di suatu wilayah, terdapat syarat-syarat untuk tetap hidup seperti air, udara, dan tanah untuk berproduksi. Ketika semuanya terancam, mereka punya hak untuk mempertanyakan,” tegasnya.

(c)mongabay.com