Deru dan debu desa di ring satu pabrik semen Tuban

1466x893_33_51_1466_893_360c88678388f10159dcb1318a364af4a0b9d0acHeboh kabar kematian 61 orang warga Desa Karanglo hanya dalam jeda waktu 45 hari. Benarkah ada kaitannya dengan pabrik semen? Sambil tidur-tiduran di kursi panjang di ruang tamu di rumahnya yang masih berlantai plester, pria itu memainkan telepon pintar warna putih miliknya. Jari-jarinya bergerak-gerak lincah di atas layar teleponnya. “Sedang melihat berita di media online. Bagaimana teman-teman wartawan menuliskan berita di Karanglo,” kata Kusmiarto ketika ditemui di rumahnya, Rabu (20/4/2016). Kusmiarto, namun entah mengapa saat kecil orangtuanya memanggilnya Patrum. Kusmiarto pun kini karib dengan panggilan Mbah Patrum atau Modin Patrum. Mbah yang artinya kakek melekat dalam panggilannya meski usianya baru 36 tahun. Modin di desa ini adalah tukang doa, termasuk mendoakan dan membimbing keluarga memandikan jenazah. Mbah Patrum menjadi ngetop seiring munculnya kabar kematian warga Desa Karanglo yang jumlahnya terbilang banyak dalam waktu 1,5 bulan sejak awal April lalu. Ada 61 warga Desa Karanglo meninggal dalam kurun waktu 45 hari. Akibat dari kabar itu, setidaknya dalam dua minggu terakhir, Mbah Patrum menjadijujukan wartawan untuk meminta keterangan. Sejumlah media menuliskan kesibukan Mbah Patrum mengurusi jenazah. Aktivis lingkungan curiga, banyaknya warga yang mati ini karena polusi udara. Alasannya sederhana, Desa Karanglo lokasinya masuk dalam ring satu dengan pabrik Semen Indonesia yang ada di Tuban. Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur menggandeng Komnas HAM untuk turun ke lapangan melakukan investigasi. Mbah Patrun turut menemani anggota Komnas HAM yang menginvestigasi kematian warga yang diduga karena polusi oleh pabrik Semen Indonesia. Selama empat hari anggota Komnas HAM berada Karanglo, untuk memeriksa kebenaran kabar itu. Komnas HAM melakukan investigasi di lapangan sejak 11-14 April. Hasilnya, pemberitaan yang selama ini telah menghebohkan tidak sepenuhnya benar. Komisioner Komnas HAM, Muhammad Nur Khoiron, dikutip www.seputartuban.com mengungkapkan hasil temuan timnya. Kata dia, warga yang meninggal karena menderita ISPA dan disebabkan debu perusahaan semen tidak sepenuhnya benar. Hasil cek lapangan seluruh warga yang meninggal sebenarnya hanya 28 orang. Usia rata-rata yang meninggal antara 40 sampai 60 tahun. Dan seorang lagi berusia 90 tahun. Penyebab kematian sebagian besar dikarenakan hipertensi, stroke, dan gangguan pernafasan. “Dari data ini belum dapat digunakan untuk menyimpulkan kematian berkaitan dengan pencemaran udara,” katanya. Data itu diperoleh dari sejumlah pihak di desa. Kemudian dilakukan pengamatan lapangan dan setelah dilakukan kajian belum dapat menyimpulkan secara pasti penyebab warga yang meninggal karena menderita ISPA murni karena debu perusahaan. Karena masih memerlukan kajian dan pendalaman lebih lanjut. “Ini harus dibuktikan secara medis dan ilmiah untuk menyimpulkan, hubungan antara penyakit pernafasan tersebut dari debu perusahaan atau faktor alam,” kata Khoiron.

(c) Beritagar.id