Penolakan Berlanjut, Tambang Emas Tumpang Pitu Terus Berjalan

Aksi-teatrikal-di-Sungai. dok BaFFEL
Foto BaFFEL : Aksi teatrikal di Sungai menolak pertambangan emas tumpang pitu Banyuwangi.

Tiga belas orang berjubah plastik kegirangan menemukan tiga belas kalung emas. Lalu kalung itu mereka kenakan sambil terbahak pongah. Namun kegirangan tersebut tidak berlangsung lama. Ketigabelasnya memegangi lehernya sembari mengeluh haus. Mereka resah karena kalung-kalung emas tidak bisa ditukar dengan air.

Setelah itu, ketigabelasnya ribut satu sama lain karena memperebutkan satu-satunya botol yang berisi air bersih. Tak ada air yang layak diminum kecuali satu botol itu. Semua air yang tersedia, bahkan sungai sekalipun telah tercemar dan beracun. Kemudian, ketigabelas orang itu merobeki jubah plastiknya sendiri.

Dengan terus mengeluh haus mereka berjalan tersaruk-saruk menuju sungai. Dan, akhirnya ketigabelas orang itu rebah di atas sungai. Selembar spanduk bertuliskan “Manusia Bisa Hidup Tanpa Emas, Tapi Tidak Tanpa Air” menyelimuti tiga belas orang yang terkapar di tengah sungai.

Itulah adegan teater non-realis yang dimainkan oleh Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL) bekerjasama dengan Komunitas Seni Bendo Kerep. Selain untuk memperingati Hari Bumi 22 April 2014, teater yang disajikan di Kali Gulung (Desa Jambesari, Kec. Giri, Banyuwangi) itu juga bertujuan menyuarakan penolakan rencana tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP).

“BaFFEL dan Komunitas Seni Bendo Kerep meyakini, jika perusahaan tambang diijinkan mengeksploitasi emas di HLGTP, maka fungsi HLGTP sebagai kawasan resapan air akan terganggu,” kata Rully Fauzi Latif, aktivis BaFFEL, seperti dikutip dari rilis yang diterima Mongabay-Indonesia.

“Perusahaan butuh air untuk memurnikan emas. Air yang dibutuhkan sebanyak 2,038 juta liter setiap hari. Air sebanyak itu akan diperoleh dengan cara menyedot potensi air yang ada, baik air bawah tanah maupun sungai sekitar Tumpang Pitu. Hal ini tentu berdampak pada pemenuhan kebutuhan air masyarakat serta pertanian sekitar Tumpang Pitu,” Tambah Rully Fauzi Latif.

Sedangkan mengenai pilihan aksi dengan bertheater di sungai, Rully menambahkan, pihaknya ingin memberi variasi atas aksi mereka. Tahun 2012 mereka telah melakukan aksi jalan mundur dari Gedung DPRD ke Kantor Bupati Banyuwangi. Tahun 2013 mereka melakukan aksi jongkok massal di depan Taman Makam Pahlawan. Tahun 2014 ini pentas teater di sungai.

Kali Gulung menjadi pilihan sebagai arena aksi karena sungai tersebut berbatasan langsung dengan ikon budaya masyarakat Using, yakni Desa Kemiren (Kec. Glagah, Banyuwangi).

“Kami ingin dunia tahu bahwa aksi teatrikal ini memiliki spirit Using. Kami ingin menunjukan bahwa teater ini murni dari anak-anak Banyuwangi, dan dilakukan karena kecintaan kami terhadap Banyuwangi, khususnya Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu,” ungkap Rully.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, dampak dari adanya pertambangan emas di Tumpang Pitu berakibat pada persoalan air, limbah tambang, fungsi hutan sebagai pelindung wilayah atas akan terganggu dan Tumpang Pitu juga berfungsi melindungi warga banyuwangi dari bahaya tsunami. Selain itu, terkait dengan lahan, akan berdampak pada konflik baik horizontal maupun vertikal.

“Padahal kalau di RTRW Jawa Timur, tumpang pitu masuk kawasan hutan lindung, anehnya di RTRW Banyuwangi kok bisa kawasan itu menjadi kawasan tambang,” kata Ony Mahardika.

Berdasarkan pengamatan Walhi Jatim, pemerintah lokal sampai nasional sangat menginginkan proyek tambang Tumpang Pitu segera beroperasi secepatnya. Indikatornya adalah mudahnya penerbitan izin, merubah dan menurunkan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi dengan alasan kawasan hutan itu sudah rusak akibat pembalakan liar dan penambangan tradisional.

“Herannya lagi kementerian ESDM kemarin keluarkan Peraturan Menteri soal WUIP Jawa Bali. Ini model untuk mempermudah investasi yang merusak bumi dan lingkungan,” kata Ony.

Ony menambahkan, Walhi Jatim saat ini memantau terus menerus perkembangan Tumpang Pitu terutama dampaknya. Kedua Walhi mengajak masyarakat tumpang pitu untuk selalu menyelamatkan lingkungan mereka dari pembongkaran yang masif.  “Biarkan Tumpang Pitu sesuai kondisinya sebagai hutan lindung untuk melindungi kawasan atas dan bawah. Jangan bongkar tumpang pitu dan jangan investasi yang merusak alam dan membuat masyarakat dihantui bencana ekologi,” tutup Ony. (Tommy Apriando)

(c) www.mongabay.co.id