Ada Apa Dengan Cangar?
Sesaat setelah erupsinya, pada tanggal 14 Februari 2014, Kota Batu termasuk salah satu wilayah yang mengalami dampak letusan kelud. Pagi harinya, warga kota Batu bukan hanya mendapatkan abu setebal rata-rata 10cm menyelimuti wilayahnya, mereka juga mendapatkan tamu, saudara-saudaranya dari wilayah Ngantang dan Pujon berdatangan menyelamatkan diri dari wilayahnya yang tidak lagi bisa ditinggali akibat pekatnya abu vulkanik dan serangan hujan kerikil dan batu serta bau yang menyengat. Warga Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang tergabung dalam FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Mata Air) dengan konsultasi bersama WALHI Jawa Timur berinisiatif untuk membuka wilayahnya sebagai salah satu tempat yang bisa didatangi oleh saudara-saudara mereka untuk berlindung dari amukan Kelud. Pukul 14.00 beberapa pemuda dari dusun Cangar mendatangi GOR Ganesha. Selain memberikan waktu dan tenaga mereka untuk membantu pengelola pengungsian menyiapkan makanan bagi para pengungsi disana, mereka juga mendaftarkan Balai Dusun Cangar sebagai salah satu tempat yang bisa digunakan sebagai tempat pengungsian. Saat itu, Balai Dusun cangar dicatat sebagai salah satu dari 17 titik pengungsian yang disiapkan oleh BPBD kota batu.
Selepas membantu Dapur Umum di GOR Ganesha, para pemuda dibantu warga yang lain menyiapkan Balai Dusun Cangar serta Gudang milik salah satu warga dusun Cangar sebagai tempat pengungsian. Respon sosial-pun terbentuk, warga menyiapkan berbagai kebutuhan untuk menyambut datangnya para pengungsi disana. Namun, malam itu mereka mendapatkan kabar bahwa untuk sementara jumlah pengungsi sudah bisa ditampung oleh tempat-tempat lain di luar tempat mereka. Wargapun mempersiapkan diri dengan semakin menguatkan kebutuhan pengungsi dengan menggalang sumbangan dan donasi, salah satunya dengan membuka donasi publik di depan Omah Munir, di Jalan Bukit Berbunga.
Namun, keesokan paginya, tanggal 15 Februari 2014 para pengungsi masih belum juga diarahkan menuju ke Balai Dusun Cangar, padahal menurut catatan BPBD, jumlah pengungsi terus meningkat, bahkan titik pengungsian telah berkembang menjadi 23 titik pengungsian. Pertanyaan pun merebak, mengapa BPBD tidak kunjung juga memakai Balai Dusun Cangar sebagai wilayah pengungsian? Padahal mereka sudah mencatat Balai Dusun Cangar sebagai titik pengungsian saat jumlah tempat pengungsian baru 17 titik. Namun bahkan saat jumlah pengungsian sudah melebar menjadi 23 titik, Balai Dusun Cangar tetap bukan pilihan yang diberikan BPBD untuk menampung pengungsi.
Secara kelayakan tempat, Balai Dusun Cangar dan Gudang luas milik salah satu warga memiliki ruangan yang tertutup dan bisa menghindarkan pengungsi dari udara terbuka dan kemungkinan hujan abu diluar. Kebutuhan MCK pun mencukupi untuk 200 jiwa yang telah diutaralan oleh warga dusun cangar sebagai jumlah pengungsi yang siap ditampung di tempat mereka. Di Balai dusun Cangar terdapat 4 Kamar Mandi yang bisa dipakai, sedangkan di Gudang milik warga juga terdapat setidaknya 4 MCK. Selain itu, warga juga telah berinisiatif menyediakan KM dan kebutuhan MCK lainnya di rumah-rumah mereka bila dibutuhkan. Namun pertanyaan mengenai tidak juga digunakannya Balai Dusun Cangar sebagai tempat pengungsian ini tidak pernah terjawab.
Pihak BPBD hanya menyatakan bahwa sementara titik pengungsian masih bisa menampung jumlah pengungsi yang berdatangan ke kota Batu. Saat terakhir kawan-kawan dusun Cangar mempertanyakan hal ini, titik pengungsian telah berkembang menjadi 45 titik. Mungkin juga pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban, karena warga dusun Cangar tetap berkomitmen membantu saudara-saudara mereka meskipun tidak dengan ditunjuk sebagai wilayah pengungsian. Mereka melanjutkan pengumpulan donasi dan bantuan untuk membantu para penyintas letusan Gunung Kelud. Namun hal ini akan membawa kita kepada permasalahan ke-2 yang muncul
Susahnya Mendapatkan Data Detil Kebutuhan Penyintas
Posko pengungsian di kota Batu segera berdiri setelah para penyintas dari Kecamatan Ngantang dan Pujon mengalami hujan abu dan kerikil yang menghajar wilayahnya. Kedatangan belasan ribu pengunsi segera direspon oleh BPBD dengan mendirikan beberapa titik pengungsian serta pendirian dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan. Namun kebutuhan pengungsi bukan hanya sekedar makanan dan tempat bernaung, ada begitu banyak rincian kebutuhan hidup sehari-hari yang mengiringi kedatangan mereka. Disisi lain sumbangan donatur mulai berdatangan untuk memenuhi kebutuhan hidup para penyintas di tempat pengungsian mereka, disini salah satu permasalahan muncul.
Tanggal 14 Februari 2014 malam, Walhi Jawa Timur dan FMPMA melakukan assestment untuk mngetahui kebutuhan para pengungsi. Untuk memudahkan, kami mendatangi GOR Ganesha dimana posko BPBD Kota Batu didirikan. Menurut kami pemenuhan kebutuhan para pengungsi harusnya diawali dengan mengetahui dengan jelas data spesifik pengungsi yang ada. Data-data penunjang semacam berapa jumlah pengungsi, berapa jumlah pengungsi dewasa, anak-anak, balita, bayi, perempuan hamil, plus jumlah pengungsi laki-laki dan perempuan penting dilakukan untuk mengetahui asupan kebutuhan spesifik pengungsi. Menyamakan kebutuhan bayi dengan anak-anak berusia diatas 5 tahun tentu saja tidak tepat, apalagi menyamakan kebutuhannya dengan orang dewasa.
Menurut kami, BPBD sebagai badan yang bertugas menangani pengungsi mesti mempunyai data-data tersebut untuk mendukung tugas-tugasnya. Data-data tersebut juga memudahkan para relawan dan donatur untuk mengetahui apa saja yang bisa mereka kerjakan dan sumbangkan. Dengan mengetahui berapa jumlah bayi dibawah umur 1 tahun dan berapa jumlah anak berumur antara 1-3 tahun, akan memudahkan distribusi bantuan susu untuk tiap kelompok usia anak. Asupan gizi untuk tiap kelompok usia juga harusnya menjadi pertimbangan dalam penyiapan kebutuhan konsumsi pengungsi. Belum lagi jika kita mempertimbangkan kebutuhan yang harus dipenuhi dari ibu-ibu hamil, lansia, dan orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus. Pada gilirannya, ketiadaan data detil pengungsi akan berimbas kepada tidak terpenuhinya hak-hak pengungsi.
Namun, ternyata malam tanggal 14 Februari 2014, data-data tersebut tidak bisa kami dapatkan disana. Yang ada hanya data total jumlah pengungsi di masing-masing titik pengungsian. Memang ada beberapa titik pengungsian yang memiliki data yang tersusun bagus dan menggambarkan pembagian umur dan jenis kelamin serta kebutuhan spesifik pengungsinya, namun tidak semua titik pengungsian memilikinya. Karena saat itu masih hari pertama erupsi Kelud terjadi, kami masih memaklumi ketiadaan data-data tersebut. Namun, hingga tanggal 17 Februari 2014, kami tidak menemukan data tersebut tersedia di posko BPBD di GOR Ganesha.
Tidak mengherankan jika kemudian di banyak titik pengungsian, kami mendapati begitu banyak kebutuhan pengungsi yang masih belum tercukupi, karena dasar pemenuhan kebutuhan pengungsi sendiri memang tidak pernah dimiliki oleh BPBD: data detil pengungsi!
Sekali Lagi Soal Distribusi
Imbas dari tiadanya data yang memadai tentang pengungsi erupsi Kelud membawa kita pada berbagai persoalan pemenuhan hak-hak pengugsi, selain bahwa kebutuhan spesifik pengungsi tidak bisa terpetakan, apalagi untuk dipenuhi, permasalahan yang muncul kemudian adalah persoalan distribusi. Di wilayah Kota Batu dan Kabupaten Malang, titik-titik pengungsian demikian banyak dan tersebar. Di kota Batu sendiri BPBD mencatat ada 45 titik pengungsian per 17 Februari 2014. Hasil assestment WALHI Jawa Timur bersama Posko FMPMA, menemukan banyak cerita bagaimana distribusi bantuan belangsung kacau dan tak terorganisir dengan baik.
15 Februari 2014, kami mendapatkan informasi keberadaan pos pengungsian di dusun Selobrojo, Desa Banjarejo, Kecamatan Ngantang. Dari data yang kami dapatkan, ada 468 warga dari desa-desa sekitar yang memilih mengungsi disana. Ketika kami mendatangi wilayah tersebut, pada 16 Februari 2014, kami menemukan bahwa memang stok kebutuhan logistik mereka sangat minim. Dari informasi yang bisa kami dapatkan, dusun ini sangat sedikit mendapatkan bantuan logistik. Usaha mereka untuk mencari kebutuhan logistik sering mentah. BPBD memang pernah mengirimkan bantuan ke dusun ini, namun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan logistik selama satu hari (permasalahan yang kemudian berusaha diatasi warga dengan solidaritas sosial, persoalan ini akan dibahas pada poin selanjutnya).
Satu hal lagi yang menarik dari dusun ini adalah bahwa pendataan mereka lebih baik dari data BPBD kota Batu yang dipasang di posko mereka. Di Dusun Selobrojo mereka sudah mendata jumlah balita dan anak-anak per tanggal 16 Februari 2014, saat BPBD bahkan belum bisa melakukan hal tersebut. Hal ini memudahkan kami menghitung jumlah kebutuhan susu, makanan bayi, dan kebutuhan anak-anak lainnya untuk disalurkan kesana. Pada saat kami mendatangi dusun Selobrojo untuk menyalurkan bantuan, kami menemukan lagi satu dusun tidak jauh dari dusun Selobrojo bernama dusun Salam. Secara administrasi, dusun Salam termasuk dalam wilayah Desa Sidodadi, Kecamatan Ngantang. Situasi Dusun Salam serupa dengan dusun Selobrojo, disini tidak ada titik pengungsian yang terkonsentrasi. Warga yang mengungsi di wilayah dusun Salam menempati 42 titik rumah warga dengan jumlah bervariasi tergantung kapasitas rumah yang ditempati.
Persoalan distribusi bantuan juga menjadi kendala di dusun ini sebagaimana terjadi di Selobrojo. Lokasi dusun yang tidak berada di dekat jalan besar, ditambah tidak ada tempat pengungsian bersama yang biasanya terlihat mencolok menyebabkan lokasi ini jarang tersentuh distribusi bantuan. Pada saat kami mendatangi dusun Salam, posko bantuan mereka kehabisan beras dan hanya menyisakan 10 kardus Mie instan untuk 370 jiwa pengungsi! Kedua dusun ini bukannya tanpa usaha untuk mendapatkan bantuan bagi pengungsi di wilayah mereka. Para pengurus kampung yang notabene juga warga yang terdampak erupsi Kelud karena tempat tinggal mereka tidak lebih dari 10 Km dari Puncak Kelud segera menyampaikan situasi mereka kepada pihak-pihak yang berwenang melalui aparat desa. Namun bantuan yang dibutuhkan tidak juga kunjung memadai.
Situasi lebih ajaib terjadi saat kami mendapatkan informasi mengenai pengungsi di wilayah desa Pandesari, Kecamatan Pujon yang mengeluhkan lambannya distribusi bantuan ke tempat mereka, padahal lokasi mereka hanya berkisar 50 meter dari posko utama di Kecamatan Pujon dimana konsentrasi bantuan terlihat menumpuk! Bantuan baru tersalurkan dengan lumayan baik setelah mereka dibantu Sekretaris Desa mendatangi Posko Bantuan disana dan menjelaskan bahwa tempat mereka kekurangan bantuan, itupun kabarnya harus dilalui dengan perdebatan sengit. Karena menurut cerita mereka pihak Posko di Kecamatan Pujon berlaku birokratis dan berbelit ketika diminta menyalurkan bantuan ke tempat mereka yang hanya sepelemparan batu jauhnya.
Dari cerita-cerita tersebut, kita ketahui bahwa persoalan penyaluran bantuan, baik logistik maupun kebutuhan pengungsi lainnya jauh dari kondisi baik. Kegagalan melakukan pendataan yang memadai membuat Posko-posko bantuan yang dikelola instansi-instansi pemerintah hanya menjadi reaktif ketika warga sudah berteriak membutuhkan bantuan. Dalam pengamatan kami, situasi ini disebabkan karena manajemen penanganan bencana yang dilakukan instansi pemerintah terkesan tidak memberi ruang bagi penyintas sendiri untuk berdaya.
Perspektif yang menjadikan para penyintas sebagai “obyek” penanganan harus segera dihapus. Para penyintas adalah mereka yang jauh lebih paham bagaimana mereka mengidentifikasi dirinya sendiri, kebutuhannya dan apa yang bisa mereka lakukan untuk meminimalisir dampak erupsi kelud bagi mereka. Memfasilitasi para penyintas adalah pilihan terbaik untuk mempermudah pendataan dan meminimalkan keruwetan distribusi kebutuhan ketimbang bersikap birokratis dan menjadi hierarkis.
Solidaritas Sosial dan Para Penyintas yang Berdaya: Belajar dari Salam dan Selobrojo
Dusun Salam, Desa Sidodadi dan Dusun Selobrojo, Desa Banjarejo di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang adalah salah satu tempat yang unik. Wilayah ini pada dasarnya berada kurang lebih masih dalam radius zona merah Kelud pada level Awas (10 km). namun dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain disekitarnya, wilayah ini relatif bersih dan minim dampak erupsi Gunung Kelud. Bahkan jika dibandingkan dengan kota Batu yang jaraknya berkisar 50 Km dari Kelud, kedua dusun ini tampak relatif lebih bersih. Tidak mengherankan jika kemudian kedua dusun ini menjadi lokasi pengungsian bagi warga-warga disekitarnya (Ngantru, Banturejo dan Pandansari). Selain karena dusun-dusun ini masih layak ditempati, lokasinya yang tidak terlalu jauh dari desa asal para pengungsi memudahkan mereka bisa sering kembali desa masing-masing untuk sekedar mengontrol kondisi desa, sedikit demi sedikit membersihkan rumah-rumah mereka, ataupun yang lebih utama menjaga dan memberi makan ternak-ternak mereka yang masih tertinggal dan belum sempat dievakuasi.
Kedua dusun ini tidak pernah direncanakan menjadi tempat pengungsian, bahkan mereka sendiri juga telah mendapatkan perintah evakuasi ketika Gunung Kelud telah ditingkatkan statusnya ke level awas. Namun karena kondisi yang memungkinkan bagi mereka untuk tetap tinggal di wilayahnya menjadikan mereka tidak melakukan evakuasi, bahkan segera menerima para tetangga desanya untuk mengungsi ke tempat mereka. Sejak hari pertama erupsi, para pengurus kampung segera mendirikan pos bantuan untuk memenuhi kebutuhan penyintas yang mengungsi ketempat mereka. Mereka juga telah melakukan pendataan cepat untuk kemudian memberitahukan keberadaan para pengungsi di tempat mereka kepada pos-pos utama yang dikoordinasi oleh BPBD Kabupaten Malang. Tapi kemudian mereka mendapati bahwa distribusi bahan makanan, minuman dan kebutuhan pengungsi lainnya tidak segera datang ke tempat mereka.
Secara sporadis ada beberapa bantuan yang memang telah turun bagi pengungsi di wilayah mereka baik dari instansi pemerintah maupun dari donatur-donatur lainnya. Namun bantuan-bantuan tersebut belum mencukupi kebutuhan mereka. Di kedua dusun ini memang jumlah pengungsinya berfluktuasi. Karena kedekatan lokasinya dengan desa-desa asalnya, para pengungsi sering kembali ke rumahnya saat siang hari dan baru kembali saat malam, kadang dengan tambahan pengungsi lainnya. Namun, kekurangan bantuan itulah yang mendorong solidaritas sosial di kedua dusun ini secara alamiah muncul. Kekurangan kebutuhan pengungsi dengan serta merta langsung berusaha ditutupi oleh warga sendiri.
Sesaat setelah erupsi, malam tanggal 13 Februari 2014 ketika pengungsi dari desa-desa lain berdatangan ke tempat mereka, warga dengan sukarela langsung mencukupi kebutuhan para penyintas. Mereka membukakan rumahnya, memasakkan makanan untuk tiap penyintas yang mengungsi di rumah mereka dan bersama-sama mereka melewati malam itu dalam gelap setelah listrik dipadamkan oleh PLN. Patut disyukuri bahwa wilayah kedua dusun ini masih relatif bersih dari debu dan pasir hasil erupsi Gunug Kelud. Kebutuhan air minum warga dan para pengungsi diwilayah itu bisa dicukupi dari sumber mata air yang masih mengalir ke dusun mereka. Warga di dusun Salam juga memiliki instalasi biogas untuk mencukupi kebutuhan memasak di dapur. Selain itu, hasil kebun dan ladang mereka juga mencukupi kebutuhan logistik bagi warga dan pengungsi disana. Para penyintas yang tinggal di dusun-dusun ini juga tidak berpangku tangan, bersama warga yang menampungya, mereka langsung mendata kebutuhan pengungsi.
Data yang dibuat mereka lumayan memadai untuk memberi gambaran kebutuhan pengungsi disana. Contohnya, ketika Walhi jatim dan FMPMA meminta data kebutuhan pengungsi untuk menyalurkan bantuan, kami mendapatkan bahwa di Dusun Salam ada 120 laki-laki dewasa, 99 perempuan dewasa, 16 bayi, 35 balita, 43 anak-anak dan 36 lansia. Data-data seperti ini sangat membantu kami menyiapkan secara spesifik kebutuhan masing-masing tingkat usia dan gender. Bahkan perubahan pengungsi yang ada tiap haripun bisa segera terdeteksi karena para penyintas sigap melaporkan kedatangan dan kepergian mereka. Para penyintas tidak merasa bahwa dirinya korban yang harus menunggu uluran tangan dan malah turut terlibat dalam memastikan bahwa kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Mendata 42 titik rumah warga akan menghabiskan energi luar biasa jika dibebankan kepada Kepala Dusun Salam ataupun pengurus dusun sendiri setiap hari, namun keberadaan para penyintas yang berdaya melakukan pendataan mereka sendiri memudahkan pihak dusun membantu mencarikan kebutuhan bagi para pengungsi. Warga kedua dusun ini dan para pengungsi yang tinggal diwilayahnya mengajarkan kita bahwa solidaritas sosial jauh lebih kuat dan lebih cepat menangani situasi tanggap darurat ketika Kelud meletus, dan para penyintas yang berdaya dan terfasilitasi untuk mengelola dirinya sangat memudahkan kerja-kerja penanganan bencana.
Yang Tercecer dari Kunjungan Presiden ke Kota Batu
Ada pemandangan yang berbeda di GOR Ganesha, Kota Batu pada 18 Februari 2014, area sekitar titik pengungsian cum posko utama penanganan bencana Kota Batu ini nampak dijaga ketat oleh aparat kepolisin dan tentara, selain milisi sipil lainnya, tidak lupa metal detector terpasang di pintu masuk satu-satunya yang bisa dilalui untuk masuk ke GOR Ganesha siang itu.. Hari itu, Presiden SBY akan menemui para pengungsi di GOR Ganesha. Tidak heran bahwa hari sebelumnya persiapan penyambutan kedatangan Presiden mulai tampak disana. GOR Ganesha mendapatkan sentuhan baru, mulai pengecatan hingga perubahan layout pengungsian dan penambahan sarana-sarana pengungsian yang sebelumnya tidak sebanyak itu disana (salah satunya MCK portabel).
Selain memoles tempat pengungsian agar terlihat lebih baru dan bersih, keberadaan pengungsi di GOR Ganesha yang semakin sedikit karena sebagian sudah memilih untuk kembali atau mencari tempat pengungsian yang lebih memudahkan mereka bisa mengontrol rumah dan ternaknya, tampaknya membutuhkan sentuhan tersendiri bagi Pemkot Batu. Hari itu, untuk menunjukkan bahwa GOR Ganesha bisa menampung banyak pengungsi, dilakukanlah mobilisasi pengungsi dari titik-titik sekitar GOR Ganesha untuk memenuhi tempat tersebut. Wawancara dengan salah satu pengungsi yang selama ini tinggal di GOR Ganesha menegaskan keberadaan para pengungsi “sewaan” di tempat itu. Menurut sumber kami didalam GOR Ganesha telah penuh oleh sekitar 1000-an pengungsi-pengungsi dari tempat lain. Padahal data BPBD sebelumnya menunjukkan bahwa pengungsi di GOR Ganesha hanya berjumlah 590 jiwa.
Entah untuk apa kemeriahan pengungsi sebanyak itu, padahal keberhasilan penanganan bencana tidak berdasar pada berapa jumlah pengungsinya, tapi bagaimana hak-hak mereka terpenuhi. Membawa-bawa pengungsi dari titik pengungsiannya ke GOR Ganesha hanya untuk menyambut Presiden tidak akan membuat nilai penanganan bencana menjadi lebih baik, itu hanya akan menyusahkan para penyintas saja.
Selain itu pemandangan miris lainnya adalah kumpulan para pengungsi yang sebenarnya malah pengungsi yang selama ini tinggal di GOR Ganesha namun siang itu dilarang memasuki gedung tersebut. Sudah menjadi kebiasaan beberapa pengungsi untuk kembali ke desanya walaupun sebentar tiap pagi untuk memeriksa keadaan kampung, rumah dan ternaknya. Juga pagi itu, beberapa pengungsi dari GOR Ganesha memilih pulang terlebih dahulu ke desanya. Namun alangkah kecewanya mereka saat akan kembali ke GOR Ganesha, mereka dilarang masuk dengan alasan Presiden akan datang. Mereka diminta menunggu diluar gedung sampai Presiden menyelesaikan kunjungannya ke situ. Padahal ada beberapa dari mereka yang meninggalkan putra-putrinya dalam gedung. Meskipun menurut pengakuan, mereka menitipkan putra-putrinya ke sanak saudara mereka yang ada di dalam GOR Ganesha sewaktu mereka pulang pagi itu, raut kekhawatiran tidak bisa hilang dari wajah para orang tua tersebut. Alasan keberadaan putra-putri mereka dan kekhawatiran para orang tua akan kondisinya di dalam tampaknya tidak cukup bagi para petugas untuk meloloskan mereka masuk.
Namun, situasi kontras terjadi ketika rombongan “undangan” berbaju batik rapi dan seragam PNS datang ke lokasi, mereka dipersilahkan masuk kedalam gedung untuk ikut menyambut kedatangan Presiden didalam.padahal, kepentingan para pengungsi yang selama ini tinggal di GOR Ganesha untuk masuk pasti jauh lebih kuat dari para undangan tersebut. Mereka yang selama ini tinggal disana, mereka meninggalkan anak-anak mereka di dalam gedung (meskipun masih dalam pengawasan sanak saudara sendiri) namun mereka malah dilarang memasuki gedung. Entah bagaimana pengelolaan kedatangan presiden ini dijalankan sehingga orang-orang yang seharusnya memiliki hak untuk ada di dalam gedung malah tidak diijinkan masuk, sementara pihak-pihak lain yang selama ini bukan orang-orang yang mengungsi disana malah dengan leluasa bisa masuk ke dalam GOR Ganesha.
Cerita lain soal kedatangan Presiden ke Kota Batu diungkapkan salah satu warga Kota Batu. Sebagai peternak kelinci, dia pagi itu bermaksud meminta surat jalan untuk mendistribusikan kelincinya ke kota lain. Namun, dia juga harus mengalami kekecewaan ketika mendatangi instansi yang mengurusi karantina hewan dan tidak mendapati satupun petugas disana. Usut punya usut, hari itu selain mobilisasi pengungsi ke GOR Ganesha, juga terjadi mobilisasi PNS guna menyambut kedatangan Presiden. Rupanya tidak cukup bagi Pemerintah Kota Batu untuk menyusahkan para pengungsi, kedatangan presiden ke Kota Batu juga akhirnya menyusahkan Warga Kota Batu akibat matinya pelayanan publik yang ada hari itu.
Kedatangan Presiden ke lokasi bencana adalah sesuatu yang patut diapresiasi, Kepala Negara harus melihat sendiri situasi daerah bencana sebagai dasar utama pembuatan kebijakan penanganan bencana yang lebih baik. Karenanya Presiden harus melihat dengan sebenar-benarnya situasi yang dialami para penyintas setiap harinya. Namun sepertinya pemerintah Kota Batu memilih untuk memoles kondisi pengungsi ketimbang menunjukkan situasi harian para pengungsi disana. Entah bagaimana kita bisa berharap akan perbaikan situasi ini berdasarkan pengambilan kebijakan yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat jika setiap saat kita melihat bagaimana laporan kondisi sebenarnya itu harus dipoles disana-sini dan mentalitas Asal Bapak Senang masih juga berkembang di kalangan pengurus publik.