PERS RELEASE
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA – JAWA TIMUR (WALHI JATIM)
Awal tahun 2014 sepertinya dibuka dengan duka, bencana datang silih berganti menerjang berbagai wilayah di Indonesia. Kabar duka yang paling baru terdengar dari Dusun Kopen, Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Selasa (28/01/2014), longsor menimbun setidaknya lima rumah yang dihuni 16 orang. Hingga tulisan ini dibuat, selain dua orang yang diketemukan selamat, sudah ada tujuh korban yang diketemukan meninggal dunia, sementara tujuh lainnya yang sedang dalam pencarian. Jumlah korban jiwa dalam tragedi longsor di Jombang ini menambah daftar korban akibat bencana di Indonesia hanya dalam bulan pertama tahun ini. Dalam catatan BNPB, tidak kurang 137 jiwa sudah melayang akibat bencana yang datang selama Januari 2014 ini . Itu artinya, setiap hari sekurangnya 5 orang meninggal dunia ditelan bencana.
Kondisi ini, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Jawa Timur (WALHI Jatim) tidak akan menurun, malah WALHI Jatim memperkirakan, bencana ekologis akan terus bertambah seiring dengan semakin terdegradasinya kondisi lingkungan, terutama di Jawa Timur. Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Jatim, Rere Christanto menyebut bahwa ancaman krisis ekologis mendorong peningkatan bencana ekologis hingga tingkat yang mengkhawatirkan. “Sepanjang tahun 2013 kemarin, WALHI Jatim mencatat sedikitnya ada 124 peristiwa bencana ekologis yang menimpa setidaknya 804 desa/kelurahan di Jawa Timur, jumlah ini meningkat jika bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Rere.
Rere menilai bencana ekologis seperti yang terjadi di Jombang mesti disikapi secara berbeda dengan bencana alam, karenanya paradigma penganggulangan bencana juga harus bisa melihat penyebab sesungguhnya meningkatnya fenomena bencana di Indonesia. “Selama ini, pemahaman bencana di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa bencana terjadi secara alamiah. Para pengurus publik lebih sibuk menyalahkan tingginya curah hujan dan meningkatnya tekanan udara ketimbang melihat faktor lain yang lebih sering menjadi penyebab munculnya bencana, yaitu campur tangan manusia itu sendiri,” tutur Rere.
Bencana ekologis menurut Rere adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Lebih lanjut dia menambahkan bahwa kegagalan pemerintah mematuhi regulasinya sendiri menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem.
Menyikapi kasus longsor yang terjadi di Jombang, Direktur Eksekutif WALHI Jatim, Ony Mahardika menyebut bahwa hasil investigasi tim Walhi Jatim di lapangan menemukan bahwa alih fungsi lahan berperan besar dalam kejadian tersebut. Pemukiman yang ada, berlokasi persis di bawah bukit yang menjadi hutan produksi yang diduga telah ditebang habis sebelumnya, karena tanaman jati yang berada di lokasi tersebut baru berusia satu tahunan. Dengan tiadanya tanaman tegakan besar yang mampu menahan lahan dengan kemiringan sekitar 45 derajat, akibatnya, hujan terus menerus yang terjadi sejak sore hari menyebabkan tanah menjadi gembur dan menyebabkan longsor.
“Secara umum perubahan bioregion Gunung Anjasmoro, dimana wilayah Jombang, Batu dan Mojokerto berada di dalamnya sekarang memang telah menjadi wilayah ekologi krisis. Kebijakan mengubah wilayah-wilayah hutan lindung yang seharusnya adalah wilayah serapan menjadi hutan produksi ini mengabaikan daya dukung lingkungan yang ada, karena hutan produksi memang ditujukan untuk diambil kayunya dan tidak didesain untuk seterusnya bisa menjadi tutupan lahan. Ditambah lagi tidak adanya pembatasan pembangunan hunian, villa, dan hotel di kawasan atas, bahkan pemerintah cenderung memfasilitasi pembangunan-pembangunan yang sama sekali tidak mengindahkan keselamatan area-area strategis ekologis. Padahal kawasan atas semacam Gunung Anjasmoro ini penting untuk mempertahankan luasan tutupan hutan dan wilayah serapan guna melindungi kawasan yang ada dibawahnya,” terang Ony.
Lebih lanjut Ony menyatakan bahwa proses rehabilitasi pasca longsor di Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang ini harus kembali memperhitungkan daya tampung dan daya dukung lahan sebagai bagian dari mitigasi bencana. “WALHI Jatim mendesak model kebijakan tata ruang selama ini untuk ditinjau kembali, terutama terkait pemulihan wilayah-wilayah yang memiliki nilai strategis secara ekologis, seperti penambahan luasan hutan lindung di wilayah kawasan atas untuk menjaga tutupan lahan dan wilayah serapan serta pengetatan regulasi untuk menghindari pengalihan fungsi lahan terus terjadi. Pemerintah harus berkaca dari bencana ini, jika pemerintah membiarkan situasi ini terus berlanjut, itu sama artinya pemerintah kita sedang membiarkan korban-korban baru bencana ekologis terus bertambah” pungkas Ony.