Tidak Ingin Lingkungannya Hancur, Warga Umbul Gemulo Kembali Turun Jalan

PERS RELEASE
FORUM MASYARAKAT PEDULI MATA AIR (FMPMA)
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)

Beot8Z8CMAAFzUd.jpg largeKamis (23/01/2014), 7 Ribu warga dari desa Bulukerto dan Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan Batu yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) kembali melakukan aksi turun jalan untuk menuntut Walikota Batu, Edy Rumpoko mentaati rekomendasi Kementrian Lingkungan Hidup dan Ombudsman. Aksi ini dilakukan karena setelah sampai batas akhir pelaksanaan rekomendasi dari instansi-instansi negara tersebut, pihak Pemerintah Kota Batu tidak melaksanakan satupun tindakan yang diamanatkan dalam rekomendasi tersebut.

Untuk diketahui, Pada 28 Agustus 2013, Kementrian Lingkungan Hidup mengeluarkan rekomendasi terkait kasus sumber mata air Umbul Gemulo, dimana rekomendasi KLH tersebut memerintahkan penghentian pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja sebelum dipenuhinya dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)  karena pembangunan The Rayja dianggap mengancam keselamatan sumber mata air Umbul Gemulo yang selama ini telah menjadi sumber air bersih warga. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2013 Ombudsman mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Perijinan Terpadu Kota Batu harus diberi sangsi atas tindakannya memberi ijin pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja.

Arif Nugroho, koordinator aksi warga menyatakan bahwa tindakan Pemkot Batu yang tidak mengindahkan rekomendasi KLH dan Ombudsman dalam kapasitasnya sebagai lembaga resmi negara adalah tindakan pembangkangan aparatur daerah, karenanya warga bermaksud mengingatkan kembali bahwa Walikota Batu sebagai pengelola pemerintahan daerah seharusnya taat hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

“Kalau Walikota tidak mentaati rekomendasi KLH dan Ombudsman, ini sama saja mereka sedang mendirikan negara dalam negara. Mereka jelas-jelas melakukan pembangkangan terhadap institusi negara yang sah. Surat KLH sudah menunjukkan begitu banyak aturan lingkungan hidup dan tata ruang yang dilanggar dalam pembangunan The Rayja dan meminta pembangunannya dihentikan , Mengapa Walikota masih membiarkan mereka melakukan pembangunan?” tegas Nugroho.

Perwakilan FMPMA, H. Rudi, juga menyatakan bahwa masyarakat tidak anti terhadap pembangunan, namun jika pembangunan tersebut berdampak pada lingkungan mereka dan membahayakan kelestarian sumber mata air yang selama ini menjadi gantungan masyarakat dalam mendapatkan air bersih, maka masyarakat tidak akan mendiamkan hal tersebut.

Lebih lanjut, pria yang tengah menghadapi gugatan perdata pihak The Rayja senilai 30 Milyar karena dianggap menghalang-halangi pembangunan rumah peristirahatan dan resort tersebut menegaskan bahwa aksi yang dilakukan oleh warga yang tergabung dalam FMPMA adalah aksi mempertahankan keselamatan lingkungan hidupnya, dan karenanya tindakan pembiaran yang dilakukan oleh Pemkot Batu dan arogansi Pihak The Rayja yang mengitimidasi warga dengan bentuk gugatan perdata harus dilawan jika masyarakat tidak ingin kehilangan sumber mata air Umbul Gemulo.

“Kami tidak akan membiarkan lingkungan kami dihancurkan dengan dalih pembangunan dan investasi. Kalau sumber Umbul Gemulo rusak karena pembangunan The Rayja, maka kami sebagai warga masyarakat yang pertama akan merasakan akibatnya. Karena itu kami mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam hal ini. Pemerintah Kota Batu ini dibentuk untuk melindungi dan mensejahterakan warganya bukan untuk melindungi kepentingan pemodal yang nyatanya malah merusak dan menghancurkan kelestarian lingkungan”  tutur H. Rudi.

Kegelisahan warga di sekitar sumber mata air umbul Gemulo akan ancaman kerusakan lingkungan di wilayahnya bukan sesuatu yang tidak berdasar. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan bahwa kerusakan lingkungan di wilayah Malang Raya telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Konfigurasi titikmata air dan kebutuhan mata air di Malang Raya menunjukkan kecenderungan kritis. Kabupaten Malang misalnya,  memiliki 873 sumber air dengan debit airnya bervariatif antara 1 liter perdetik – 4 ribu liter perdetik. Tahun 2008 tercatat sepertiga dari sumber air yang ada mengalami penurunan debit air.

Sementara itu, untuk keberadaan sumber mata air di kota Batu, dari sebelumnya tercatat ada 111 titik kini telah mengalami kemerosotan. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini tinggal 28 titik. Sedangkan di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air, kini tinggal 15 titik. Sementara itu sumber air di Kecamatan Junrejo, dari 22 titik sumber mata air, kini tersisa 15 titik.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Ony Mahardika menyebut bahwa data-data tersebut menunjukkan kegagalan Pemerintah Kota Batu menjaga keseimbangan ekosistem wilayah kota Batu. “Tindakan ini tidak bisa dibiarkan, sementara usaha pemulihan lingkungan tidak pernah dipikirkan, Pemerintah Kota Batu malah memfasilitasi penghancuran lingkungan secara lebih luas. Kalau Pemkot Batu terus tutup mata terhadap fakta kerusakan yang sudah nampak jelas ini, maka ini adalah indikasi yang nyata bahwa pemerintahan ini tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan” tegas Ony.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan mengingatkan bahwa pembangunan dan investasi yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan akan mempercepat bencana ekologis seperti yang sekarang tengah mengancam banyak wilayah di Indonesia

“Pemerintah Kota Batu harus belajar dari banyaknya bencana ekologis yang menimpa wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kalau Pemkot Batu membiarkan ketidaktaatan terhadap tata ruang, pengalihfungsian wilayah-wilayah serapan, serta penghancuran sumber mata air dan kerusakan keseluruhan ekosistem terus berlarut-larut, maka sesungguhnya Pemkot Batu tengah menggiring warganya menuju bencana yang lebih besar” terang Abetnego yang turut hadir dalam aksi warga ini.

Lebih lanjut Abetnego menyatakan bahwa pemaksaan pembangunan Rumah Peristirahatan dan Resort The Rayja yang mengancam keberlanjutan terhadap hak rakyat atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi warga dan hak asasi manusia. “Pemerintah harus bertindak tegas! Hentikan pembangunan yang jelas-jelas mengancam keselamatan rakyat. Jangan lagi menjadikan masyarakat sebagai tumbal investasi” tegas Abetnego.

Kontak Person:

  • Arif Nugroho (Koordinator Aksi): 085646469136
  • H. Rudy (FMPMA): 085755555457
  • H. Triono (FMPMA): 085649999243
  • Abetnego Tarigan (Direktur Eksekutif Nasional Walhi): 08159416297
  • Ony Mahardika (Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim): 081335220940