Sudahkah Anda Minum Air Kali Surabaya Hari Ini?

Catatan Hari Kelima Susur Brantas 1 Memasuki hari kelima Susur Brantas I yang dihelat Sahabat Sungai Indonesia, perjalanan memotret nilai penting daerah aliran sungai Brantas dengan segala perkembangan dan krisis yang terjadi telah memasuki salah satu bagian hilir terjauhnya: Kali Surabaya. Pada sungai yang melintasi wilayah-wilayah padat penduduk dari empat kabupaten/kota di Jawa Timur (Mojokerto, Gresik, Sidoarjo dan Surabaya) ini permasalahan Brantas menjadi semakin pekat sebagaimana aliran yang menghanyutkannya. “Kali surabaya ini melanggar hukum alam, hukum alam sungai itu dari hulu ke hilir adalah dari baik ke buruk, tapi kali surabaya itu nggak begitu, dia dari buruk ke baik, karena hilirnya dipakai sebagai bahan baku air minum.” tutur Prigi Arisandi, Direktur Ecoton dalam perbincangan dengan tim Susur Brantas I yang bermalam di Inspirasi, lembaga pendidikan lahan basah sekaligus kantor Ecoton di tepi Brantas wilayah Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik. Perihal kelayakan baku mutu air, menurut Prigi, adalah persoalan yang pelik karena belum adanya standar daya tampung beban pencemaran di semua sungai di Indonesia. “Daya tampung pencemaran itu seperti kelas jalan, kalau kita belum menentukan standarnya seberapapun pelanggaran akan dianggap sah-sah saja,” kata Prigi lebih lanjut. Sejak mulai perjalanannya dari Kali Amprong, anak Sungai Brantas di Kecamatan Bunul Kota Malang, hingga memasuki wilayah Kali Surabaya, tim Susur Brantas I mendapati keadaan sungai Brantas seperti sebuah tempat sampah besar. Dari sampah rumah tangga, bangkai binatang, hingga limbah pabrik tercurah kedalam tubuh sungai yang luasan daerah aliran sungainya menutupi seperempat luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Tim Susur Brantas 1 mendapati sepanjang aliran Kali Surabaya sejak Dam Mlirip di wilayah Mojokerto, mulai dipadati hunian warga. Mereka memenuhi pinggiran sungai. Ditambah pula jejeran industri yang berkembang di wilayah ini semakin melengkapi beban pencemaran yang mesti ditanggung Kali Surabaya. “Sejak dari hulu sungai Brantas kami memang menemukan sampah di sungai, namun di Kali Surabaya peningkatan volume sampahnya sangat mencolok,” tutur Nanang, salah satu anggota tim Susur Brantas 1. Proses industrialisasi yang terjadi secara besar-besaran sejak Orde Baru nampaknya makin lama makin menggiring para pelaku industri melupakan keselamatan hidup masyarakat yang bergantung pada lingkungannya. Keberpihakan pemerintah kepada kepentingan ekonomi dibanding kepentingan lingkungan semakin mendorong krisis yang lebih akut bagi sungai Brantas. Hasil penelitian Balai Teknik Kesehatan Lingkungan pada tahun 1997 misalnya, telah menyimpulkan bahwa kandungan logam berat seperti merkuri dan timbal pada ikan-ikan yang ditemukan di wilayah Pantai Kenjeran sebagai muara Sungai Brantas telah melebihi ambang batas yang diperbolehkan oleh WHO. “Selagi industrialisasi jadi fokus utama, yang lain hanya wacana,” jelas Prigi menanggapi konsep ‘satu sungai, satu rencana, satu manajemen’. Otonomi daerah menjadi salah satu masalah yang menyulitkan penyelarasan pengelolaan Sungai Brantas yang mengaliri 18 kota dan kabupaten di Jawa Timur. Mengharapkan perhatian terhadap penyelamatan Brantas seperti jauh panggang dari api. Kebutuhan peningkatan pendapatan daerah dan persepsi industrialisasi sebagai pendorong peningkatan ekonomi, menjadikan penyelamatan sungai Brantas semakin terasa berat. Penyelamatan kehidupan di daerah aliran sungai Brantas dan pembalikan krisis yang terjadi dari hulu hingga hilirnya menjadi tugas panjang yang mesti dikerjakan terus menerus. Proses yang terjadipun saling terkait antara kondisi hulu dan hilirnya. Sejak tahun 2000 hingga 2008 misalnya, pemakaian DAS Brantas sebagai pemukiman melonjak dari 265.301 Ha atau 17% dari total penggunaan wilayah DAS Brantas di tahun 2000 menjadi 458.961 Ha atau sekitar 30% dari total penggunaan wilayah DAS Brantas di tahun 2008. Hal ini berbanding terbalik dengan semakin kecilnya luas wilayah hutan yang mencapai 80.938 Ha (5,24%) di tahun 2000 menyusut menjadi 42.683 Ha (2,75%) di tahun 2008. Semakin padatnya pemukim di daerah aliran sungai dan semakin kecilnya hutan di hulu Brantas yang berfungsi melindungi mata air-mata air yang ada semakin diperburuk pula dengan semakin banyaknya industri yang tumbuh di kawasan Brantas. Di Kali Surabaya saja tercatat ada 150 pabrik/industri yang mengalirkan limbahnya ke sungai. Membiarkan Sungai Brantas seperti sekarang ini sama dengan bunuh diri perlahan bagi semua yang tinggal dan dihidupi oleh aliran sungai ini. Kepedulian dan kemauan untuk mencari solusi terbaik dari krisis yang sedang berlangsung ini harus semakin berkembang di banyak komunitas yang berada dalam kawasan daerah aliran sungai Brantas. Menjabarkan data kerusakan dan krisis yag terjadi rasanya tidak cukup untuk kegentingan yang dialami kawasan Brantas ini. Butuh aksi nyata untuk berbalik arah dari krisis yang terjadi menjadi keselamatan hidup bersama warga yang tinggal di kawasan Brantas. “Seharusnya kita bukan lagi bicara soal pencemaran, tapi bagaimana membuat orang untuk bergerak, bagaimana pemerintah ini untuk berubah. Karena pencemaran itu wacana yang sudah ada sejak tahun 80-an, sekarang itu bahaya yang dihadapi makhluk hidup (di kawasan Brantas) sudah nyata dan itu sudah parah, kondisiya sekarang sudah mengkhawatirkan,” kata Prigi. Peraih Goldman Prize Award ini mendorong Sahabat Sungai Indonesia untuk bersama-sama melakukan aksi penyelamatan selepas melakukan aksi Susur Brantas 1 ini. Apa yang dituturkan laki-laki yang sejak pertengahan 90an fokus mengerjakan isu lahan basah dan sungai ini benar adanya. Butuh tindakan bersama-sama untuk memulihkan sungai Brantas. Jika tidak, rasanya mutu air yang disalurkan ke rumah-rumah di Surabaya dan sekitarnya tak lebih adalah saringan toilet industri dan sampah domestik sepanjang Brantas. (c) Sahabat Sungai Indonesia