Quo Vadis Pertanian DAS Brantas?

Catatan Hari Keempat Susur Brantas I sahabatsungai.or.id – Brantas adalah sungai yang unik, untuk mengalir ke Laut Jawa (Selat Madura) saja dari mata airnya di kawasan Batu dia harus berkeliling sejauh 320 km mulai Kota Batu, Malang, Blitar, Tulung Agung, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, sebelum kemudian terpecah ke arah Sidoarjo dan Surabaya untuk menuju ke Laut Jawa (Selat Madura). Meskipun sebetulnya dari kawasan Malang kalau aliran sungai ini bergerak ke arah utara di Sidoarjo, ia akan lebih cepat mencapai lautan. Tampaknya sungai ini telah ditakdirkan untuk menghidupi ± 14 juta jiwa penduduk Jawa Timur, terutama bagi pengembangan salah satu kebutuhan utama kehidupan: pangan. Data BPS 2011 sebagaimana dilansir oleh Departemen Pertanian menunjukkan bahwa kontribusi padi di Jawa Timur untuk kebutuhan pangan nasional mencapai 16,08 persen, sementara untuk jagung mencapai 30,85 persen dan kedelai 43,11 persen. Besaran produksi padi sendiri di Jawa Timur mencapai 10,533 juta ton. Produksi padi ini dihasilkan dari areal tanaman seluas 2,142 juta ha, dengan luas panen sekitar 2,057 juta ha. Dari nilai tersebut kurang lebih 60 persennya dikembangkan di wilayah yang dilalui sungai Brantas. Dalam perjalanan sejarah Brantas, sungai ini memang menjadi sumber utama produksi pangan dari masa ke masa. Catatan prasasti dan arsip kolonial menempatkan Sungai Brantas sebagai bagian utama upaya pemenuhan kebutuhan pangan. Prasasti Harinjing (804 Masehi) menunjukkan keberadaan pembangunan saluran irigasi di sungai Harinjing/Sirinjing di Pare, Kediri. Catatan lain yang didapat dari Prasasti Bakalan menunjukkan keberadaan tiga bendungan di daerah Padi-padi, Kinonken, dan Wulak, wilayah-wilayah yang diperkirakan berada di aliran kali Kromong daerah Pacet, Mojokerto sekarang. Catatan usaha pengelolaan kawasan Brantas demi pemenuhan sektor agraria yang paling menonjol kemungkinan adalah Prasasti Kalagyan yang mengisahkan tentang usaha Airlangga dalam mengendalikan banjir yang sering melanda wilayah pertanian di kawasan Brantas dengan membangun bendungan dan memecah aliran sungai Brantas ke tiga arah untuk mengurangi besarnya debit air sungai Brantas di wilayah hilir. Usaha Airlangga untuk mengandalikan banjir di hilir sungai Brantas kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan meluruskan aliran Kali Porong yang merupakan salah satu dari tiga percabangan sungai buatan Airlangga untuk mengurangi potensi banjir saat itu. Kebutuhan pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga wilayah hilir bebas banjir tidak lepas dari eksploitasi besar-besaran wilayah-wilayah hilir untuk perkebunan tebu demi mendukung produksi gula yang menjadi andalan pemasukan ekonomi pemerintahan kolonial dari wilayah Nusantara. Untuk mendukung hal tersebut di Jawa Timur sendiri tercatat ada 60 pabrik gula yang berada di sekitar daerah aliran sungai Brantas. Kisah mengenai konflik yang terjadi di era industri gula masa kolonial ini diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya berjudul “Anak Semua Bangsa.” Penggambaran ekploitasi besar-besaran tanah-tanah rakyat untuk industri gula pada waktu itu menunjukkan sifat sesungguhnya industri berbasis pertanian yang tak kalah bengis. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda kemudian industrialisasi pangan menjadi semakin masif dan berkembang hingga sekarang. Program intensifikasi pangan era Orde Baru yang didorong hembusan Revolusi Hijau menjadikan pertanian tradisional menjadi semakin tergilas, dan perusahaan-perusahaan sektor pangan mulai mengendalikan alur produksi-konsumsi masyarakat. Dari hasil penyusuran tim Susur Brantas 1, Sahabat Sungai Indonesia di sungai Brantas, menunjukkan bahwa penggunaan wilayah di sekitar daerah aliran sungai untuk peruntukkan sektor pertanian masih cukup banyak. Kawasan Kediri dan sekitarnya merupakan basis penghasil jagung terbesar di jawa Timur. Industri-industri pemasok benih pangan dan obat-obatan pertanian saling bersaing di wilayah ini. Temuan lapangan ini juga dibarengi dengan penggalian informasi mengenai krisis pengelolaan sistem pertanian di daerah-daerah hulu Brantas, seperti contoh kasus di desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Malang dan Kecamatan Pare, Kediri. Wilayah Jombang yang lebih dari 60 persen mengandalkan pertanian juga terancam dengan terkaplingnya area ini sebagai blok migas. Beberapa catatan menunjukkan kriminalisasi dilakukan kepada petani yang mencoba untuk melakukan pembenihan sendiri di daerah Kediri dan sekitarnya. Meskipun model pembenihan sudah dikenal lama oleh petani, namun cara ini tak lagi bisa dilakukan karena dianggap melanggar undang-undang. Mugi, dari Karitas Indonesia(Karina) Pare mencatat keresahan-keresahan petani yang tak lagi bisa menggunakan lahannya setelah digunakan untuk kontrak tanam dari sebuah perusahaan. Belum lagi perambahan hutan yang makin masih untuk produksi pangan ini di sekitar kaki Kelud. Sementara dari desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Malang, kisah mengenai intensifikasi pertanian yang sudah berlangsung sejak masa kolonial disana tidak jua berujung manis. Ketergantungan petani terhadap pupuk semakin lama menjadi semakin kuat dan tidak terhindarkan. Lahan pertanian yang sudah terlanjur hanya bisa hidup dengan pupuk menjadikan beban produksi petni bertambah tinggi setiap tahunnya. Tingginya tingkat kebutuhan petani terhadap pupuk dan benih hasil industri ini pada akhirnya menjadikan banyak varietas lokal mulai hilang. Masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya adalah kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Para pendahulu kita yang tinggal di kawasan daerah aliran sungai Brantas telah berjuang menjaga kehidupan tetap berjalan. Tongkat estafet telah beralih, pertanyaan kini disuguhkan di hadapan kita, apakah wilayah sumber pangan Jawa Timur ini akan terus ada atau kita hanya akan menjumpainya sebagai legenda belaka di masa mendatang. (c) Sahabat Sungai Indonesia