Catatan Hari Ketiga Susur Brantas I sahabatsungai.or.id – Pada hari ketiga ekspedisi Susur Brantas, Tim Darat memasuki Kota Pare, Kabupaten Kediri. Di Pare, Tim Darat mengunjungi mata air bawah tanah di dekat Candi Surowono. Hari sebelumnya, Tim juga sempat mengunjungi Candi Penataran di Kabupaten Blitar. Dari hasil kunjungan tersebut, Tim menjumpai fenomena sosial yang unik terkait dengan hubungan antara manusia dan alam. Sungai Brantas dan Gunung Kelud merupakan entitas ekologis yang unik. Selama ini, warga di lereng Gunung Kelud mereproduksi mitos Lembu Sura secara turun temurun sebagai sebuah strategi terhindar dari resiko kebencanaan yang ada. Namun, kelahiran Gunung Anak Kelud pada tahun 2007 lalu telah memicu pertanyaan baru di kalangan warga yang masih memegang mitos tersebut maupun di kalangan ahli vulkanologi yang selama ini mempelajari Gunung Kelud. Sungai Brantas maupun Gunung Kelud menyimpan potensi resiko kebencanaan yang cukup tinggi. Sementara itu, Gunung Kelud memiliki karakteristik kebencanaan yang berbeda dengan Sungai Brantas. Sebagai salah satu gunung berapi yang masih aktif, ancaman pertama dan terutama dari Gunung Kelud adalah erupsi lahar panas (ketika gunung meletus) dan aliran lahar dingin (di musim penghujan). Dari pengalaman sebelumnya, aliran lahar dingin inilah yang lebih sulit diperkirakan. Lahar dingin adalah luberan lahar yang tidak mengalir sampai bawah ketika erupsi terjadi dan mengendap di sungai-sungai lahar di lereng gunung. Lahar dingin berisi pelbagai macam material—pasir, batu besar maupun kecil, kayu, dan apapun sempat dilalui oleh lahar panas—yang rentan untuk mengalir kapan saja, terutama ketika terjadi hujan deras. Lembu Sura dan Gunung Kelud Sementara itu, untuk menghindarkan diri dari resiko kebencanaan akibat erupsi lahar panas, warga di lereng Gunung Kelud cukup mengacu pada mitos Lembu Sura. Dikisahkan bahwa Lembu Sura, patih Majapahit yang sakti mandraguna, berkehendak melamar Dewi Kilisuci dari Kediri. Dewi Kilisuci, yang tidak ingin menikah dengan Lembu Sura namun takut dengan kesaktian sang patih, menetapkan syarat pada Lembu Sura. Dewi Kilisuci minta dibuatkan sumur terdalam yang pernah ada. Sebuah sumur yang di dalamnya seseorang tidak bisa lagi mendengar dan melihat apa yang terjadi di permukaan tanah. Lembu Sura menyanggupi syarat tersebut, dan mulai menggali sumur. Di tengah proses penggalian tersebut, Dewi Kilisuci menyuruh tentara Kerajaan Kediri untuk menimbun sumur tempat Lembu Sura masih menggali itu. Lembu Sura pun tertimbun di sumur yang digalinya sendiri itu. Hingga kini warga masih meyakini Gunung Kelud tersebut adalah sumur yang digali oleh Lembu Sura tersebut. Tidak hanya itu, warga juga meyakini erupsi Gunung Kelud merupakan suatu hukuman bagi Kerajaan Kediri yang telah mengkhianati Lembu Sura. Warga meyakini bahwa Lembu Sura tidak akan membawa petaka bagi Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, untuk menghindar sementara dari dampak erupsi lahar panas warga cukup mengungsi sementara ke wilayah-wilayah yang diyakini termasuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit. Hal inilah yang membuat, dibandingkan dengan letusan gunung lainnya, tidak banyak korban jiwa jatuh dalam erupsi Gunung Kelud. Mitos dan Masyarakat Jawa Orang Jawa telah menjadikan gunung sebagai bagian dari kehidupannya. Dari sebab itu, terdapat mitos-mitos khusus yang dilekatkan pada keberadaan gunung-gunung di sekitar tempat tinggal mereka—seperti halnya yang dapat dijumpai dengan mitos Lembu Sura di lereng Gunung Kelud. Penciptaan mitos tersebut merupakan strategi orang Jawa untuk tinggal bersama alam. Baik alam yang “bersahabat” maupun alam yang “marah”. Realitas semacam ini mengingatkan pada hasil catatan lapangan antropolog Amerika, Clifford Geertz, di Pare (atau dia menyebutnya dengan “Modjokuto”). Dari catatan Geertz tersebut, orang Jawa memiliki ritual-ritual yang cukup rinci agar mereka terhindar dari bahaya atau malapetaka. Ritual yang dinamai slametan itu merupakan bagian dari usaha orang Jawa menuju “selamat”. Penting untuk dicatat, orang Jawa melakukan ritual slametan bukan hanya untuk menangkal bencana, tapi juga suatu wujud terima kasih pada lingkungan alam dan lingkungan sosialnya atas berkah yang mereka dapatkan. Bagi beberapa ilmuwan Barat, hal ini merupakan hal yang tidak masuk akal ketika dilakukan oleh orang yang miskin. Geertz menyebut fenomena ini sebagai shared poverty. Namun, orang Jawa memiliki penjelasannya sendiri. Secara sosiologis, ritual slametan merupakan usaha orang Jawa memelihara modal sosial antar sesama warga. Modal sosial ini akan lebih berguna dalam kondisi-kondisi krisis, seperti pasca-erupsi Gunung Kelud, daripada modal ekonomi. Gunung Anak Kelud, 2007 Secara umum, Badan Vulkanologi mencatat bahwa siklus erupsi Gunung Kelud semakin pendek. Hal ini berarti, kesiagaan atas potensi bencana erupsi harus semakin ditingkatkan. Mitigasi bencana erupsi Gunung Kelud semakin menuju ketidakpastian setelah “kelahiran” Gunung Anak Kelud pada tahun 2007 lalu. Gunung Anak Kelud muncul dari danau yang terletak di sisi utara Gunung Kelud. Berdasarkan pengalaman, selama ini danau itu menjadi pelindung alamiah bagi warga di sisi utara dari erupsi Gunung Kelud. Oleh karena itu, Gunung Anak Kelud merupakan ancaman baru bagi warga sekitar, mengingat tidak ada lagi perlindungan alamiah di wilayah itu. Saat ini, baik warga maupun pemerintah masih belum dapat mengetahui karakteristik erupsi Gunung Anak Kelud itu. Dari sisi keilmuwan vulkanologi, selama Gunung Anak Kelud belum meletus karakternya masih belum dapat diperkirakan. Namun, mengharapkan gunung itu meletus pun bukan sesuatu yang nyaman bagi siapa pun. Sementara itu, masih belum ada penjelasan mitologis tentang kelahiran Gunung Anak Kelud tersebut. Mitos Lembu Sura hanya menjelaskan tentang asal mula Gunung Kelud. Tidak disebutkan tentang kemunculan Gunung Anak Kelud. Ataukah, Gunung Anak Kelud merupakan pintu keluar dari Lembu Sura yang selama ini tertimbun bawah tanah. Apabila memang begitu, pertanyaan mistisnya adalah: apa yang bakal dilakukan Lembu Sura ketika berhasil keluar? Anton Novenanto, anggota Tim Darat “Susur Brantas” (c) Sahabat Sungai Indonesia