Catatan Hari Ke Dua Susur Brantas I sahabatsungai.or.id – Marsup (72) masih ingat bagaimana banjir menerjang rumahnya di desa Kedungwungu, Kecamatan Binangun, Blitar, meskipun dia tidak bisa mengingat tahun persisnya bencana itu terjadi. “Ya kira-kira, tiga tahun yang lalu mas, itu banjir sampai setinggi setengah meter masuk rumah saya” terang pria yang sudah tinggal di tepi sungai Brantas sejak pertengahan tahun 1950-an itu. Marsup mengisahkan bahwa sebelum berdirinya dam dan bendungan di sepanjang sungai Brantas, dia malah tidak mengalami banjir sebesar beberapa tahun lalu itu. Resiko adalah bagian hidup warga yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai, kondisi alam yang tidak bisa tepat diramalkan semakin diperparah dengan semakin rusaknya kondisi aliran sungai dewasa ini. Dari lanjutan perjalanan susur Brantas I, tim air Sahabat Sungai Indonesia yang melewati etape Blitar-Tulungagung pada hari minggu (14/04) menemukan bahwa di sepanjang aliran sungai Brantas, penambangan pasir, erosi, dan pembuangan sampah menjadikan kawasan Brantas semakin memprihatinkan. “Di sepanjang aliran sungai sejak dari waduk Karangkates pertambangan pasir di sisi sungai Brantas kami temukan di banyak titik, dan itu terjadi secara besar-besaran” terang Rindang, salah satu anggota tim air menjelaskan hasil pengamatan yang didapatkan di sepanjang perjalanan etape Blitar-Tulungagung. Persoalan aliran Brantas dan ancamannya terhadap warga yang tinggal disekitarnya telah menjadi perhatian sejak dahulu kala. Lombard, dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, menuliskan prasasti-prasati yang berkaitan dengan proyek keairan jaman Majapahit. Ia juga menuliskan irigasi terdekat lain, lebih tua, berdasarkan prasasti yang ada. Yang terdekat dengan kawasan timur Brantas ini adalah yang dilakukan Raja Airlangga, tertulis dalam Prasasti Kalagyan(1037), lokasi sekarang dikenal dengan desa Kelagen – Tulangan. Disebutkan tentang dibuatnya bendungan besar setelah terjadi luapan sungai yang merusak tanaman dan lalu lintas sungai, serta memutuskan hubungan dengan Jenggala. Letaknya di suatu tempat bernama Waringin Pitu. Di masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda meluruskan sungai Brantas di hilir wilayah Sidoarjo (sungai Porong), tindakan yang sebenarnya melanjutkan usaha sejak masa Airlangga di wilayah Porong ini selain untuk mencegah banjir di wilayah hilir Sidoarjo juga untuk mengurangi besarnya debit aliran air yang memasuki kota Surabaya. Sementara itu pemerintah Indonesia sendiri berjuang mengontrol aliran sungai Brantas dengan pembangunan serangkaian waduk dan bendungan untuk menjaga daerah aliran sungai Brantas dari bencana banjir. Ancaman bencana di kawasan Brantas sendiri tidak hanya dihadirkan oleh kondisi alam semata, aktivitas manusia berperan banyak dalam memunculkan potensi bencana yang ada. Dalam kaitan dengan bencana buatan manusia, salah satu kasus yang paling mudah untuk dilihat adalah kasus luapan Lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo. Kesalahan pemboran yang pada akhirnya menenggelamkan 12 desa dan membuat ratusan ribu jiwa keilangan tempat tinggal ini, hingga sekarang belum juga mendapatkan titik terangnya bagaimana kasus ini akan diselesaikan. “Kelemahan pemerintah dan peningkatan industrialisasi yang tidak mengindahkan keselamatan manusia adalah gabungan faktor yang turut serta memberi ancaman pada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan sungai. Saatnya masyarakat sipil ambil bagian menentukan arah pembalikan krisis yang terjadi di daerah aliran sungai” tutur Bambang Catur Nusantara, koordinator Sahabat Sungai Indonesia. Anton Novenanto, Pengajar Sosiologi Universitas Brawijaya yang juga bagian dari tim Susur Brantas I ini menyatakan bahwa permasalahan bencana yang terjadi di kawasan Brantas tidak hanya bencana periodik saja seperti banjir dan ancaman aliran lahar, namun juga bencana sistemik dimana didalamnya termasuk juga kegagalan konsep “satu sungai, satu sistem, satu manajemen.” Lebih kanjut lagi, pria yang akrab dipanggil Nino ini menjelaskan “Selama ini, kitalah yang terus menerus berusaha mengadaptasikan sungai mengikuti perkembangan kita, bukan kita yang berusaha beradaptasi dengan sungai, dan itulah yang sebetulnya menciptakan potensi bencana-bencana baru” Ancaman bencana di kawasan Brantas akan tetap ada, sebagaimana kita tidak mungkin seratus persen bisa mengendalikan alam, namun ketidak siapan mengantisipasi tingkat kerawanan bencana yang semestinya bisa dipetakan akan semakin memperparah kondisi masyarakat yang tinggal di seputaran daerah aliran sungai. Jangan-jangan kita sendirilah yang akan menggenapi ramalan Jayabaya tentang kawasan Brantas yang menyatakan: Blitar dadi lahar, Tulungagung dadi kedung, Kediri dadi kali, Jombang dari belumbang, Mojokerto dadi ara-ara. (c) Sahabat Sungai Indonesia