Walhi Jatim Kecam Kriminalisasi Nelayan Cumpat dan Nambangan

Walhi Jawa Timur mengaku sangat prihatin dengan kriminalisasi oleh kepolisian terhadap empat nelayan yang menyalurkan aspirasi dan mempertahankan hak-haknya. Keempatnya diperiksa sebagai saksi atas laporan PT. Gora Gahana, 25 Februari 2013 lalu.

“Keempat nelayan yang memperjuangkan aspirasi dan hak mereka malah dikenakan Pasal 162 UU 4/2009 tentang Minerba,” terang Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur, Selasa (05/03 2013).

PT. Gora Gahana sebagai perusahaan penambang pasir laut menuduh perwakilan nelayan Cumpat  dan Nambangan,  Kedungcowek, Surabaya itu melakukan tindak pidana karena telah merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Hal tersebut menurut Ony sangat dipaksakan, mengingat keberadaan pasal tersebut jika dilihat persyaratan dalam Pasal 136 ayat (2) UU Minerba, hanya berlaku untuk pertambangan minerba yang berada di daratan.

Lagipula, lanjut Ony, masyarakat nelayan di wilayah Selat Madura bagian  dari  penyaluran aspirasi dan  bentuk perjuangan  atas hak  atas  lingkungan hidup dan perairan yang  baik, sehat, serta kelangsungan  kehidupan mereka.

Menurut Ony, masyarakat nelayan menolak keberadaan penambangan pasir laut di Selat Madura karena telah  terbukti menghilangkan  sebagian  besar  pasir  laut  Selat  Madura  selama   ini.

“Apa yang dilakukan nelayan menyalurkan aspirasi tidak bisa dituntut  secara  pidana, hal ini sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang memberikan hak imuntas bagi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.

“Hal ini jelas kriminalisasi, dan kesan kuat terlalu dipaksakan, sejak tahun 2006 lalu perjuangan ini sudah dimulai,” tegas Ony.

Atas kejadian ini Ony sangat khawatir model pengkriminalisasian seperti ini akan semakin menjadi-jadi saja dalam pelaksanaan MP3EI ke depan.

Program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) merupakan program strategis percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 (lima belas) tahun, hingga tahun 2025 nanti.

MP3EI dalam pelaksanaannya akan mengundang investor besar-besaran dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.

“Bukan saya anti investasi, tapi jika melihat kasus ini dan kasus-kasus sejenis lainnya yang telah terjadi, bukan hal yang tidak mungkin model pengkriminalisasian semacam ini akan semakin marak saja dan akan diulang-ulang untuk semata memuluskan program MP3EI dan menguntungkan investor,” ujar Ony khawatir.

(c) SUARAAGRARA.com