Siaran Pers Bersama
WALHI Jawa Timur
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
Jakarta, 4 Maret 2013. Tindakan POLRI mengkriminalisasi warga negara yang memperjuangkan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat masih terjadi hingga hari ini. Pada tanggal 25 Februari 2013 lalu, 4 orang nelayan (Munir, Haji Mardiono, Haji Zainal, dan Muslih) dari ribuan nelayan selat Madura yang aktif dalam menjaga dan melestarikan ekosistem pesisir laut menerima panggilan dari Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas laporan PT. Gora Gahana.
Perusahaan penambang pasir laut berbasis di Jakarta tersebut menuduh perwakilan nelayan Cumpat dan Nambangan, Kedungcowek, Surabaya tersebut telah melakukan tindak pidana setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (Pasal 162 UU 4/2009 Minerba).
Atas laporan tersebut seharusnya, pihak Kepolisian lebih menfokuskan pada carut marutnya perizinan tambang pasir laut di Jawa Timur yang menjadi pemicu konflik sosial. Selain tidak berkorelasi dengan peraturan yang dijadikan rujukan, juga diduga kuat pemanggilan tersebut bagian dari intimidasi pihak perusahaan kepada masyarakat dengan memanfaatkan oknum aparat penegak hukum.
Penasehat Hukum WALHI Jawa Timur, Subagyo, SH. MH., mengatakan bahwa, “Delik Pasal 162 UU Minerba tidak dapat diterapkan dalam pertambangan minerba yang ada di lautan (dalam hal ini termasuk di Selat Madura), sebab laut bukanlah lahan tanah yang menjadi hak keperdataan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 136 jo Pasal 135 UU Minerba”.
Subagyo menambahkan, “Dengan menyebut persyaratan Pasal 136 ayat (2) UU Minerba, maka delik Pasal 162 UU Minerba hanya berlaku khusus pada pertambangan minerba yang berada di daratan yang mensyaratkan adanya penyelesaian hak atas tanah yang akan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan”.
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur Ony Mahardika menyatakan, “Penolakan masyarakat nelayan terhadap penambangan pasir laut di Selat Madura merupakan bagian dari perjuangan untuk meneguhkan hak konstitusional mereka, yakni hak atas lingkungan hidup dan perairan yang baik dan sehat, serta mempertimangkan keberlanjutan kehidupan nelayan”. Terhadap usaha-usaha perjuangan tersebut, yakni termasuk dengan cara menolak pertambangan pasir laut yang telah terbukti menghilangkan sebagian besar pasir laut Selat Madura selama ini, maka hal itu tidak dapat dituntut secara pidana (hak imunitas).
Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang menentukan: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Penjelasan Pasal 66 UU PPLH menjelaskan: Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
Atas dasar tersebut, Sekjen KIARA Abdul Halim menegaskan, “Tidak ada alasan bagi pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk menindaklanjuti laporan PT. Gora Gahana. Sebaliknya Polda Jatim harus melakukan penyidikan terhadap PT. Gora Gahana atas pelanggarannya terhadap ketentuan Pasal 35 huruf (i) dan Pasal 73 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengakibatkan nelayan kehilangan mata pencaharian dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur
di +62 813 3522 0940
Subagyo, Penasehat Hukum WALHI Jawa Timur
di +62 812 3429 5868
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA
di +62 815 5310 0259
Salam Solidaritas,