Pada akhir Oktober tahun lalu, ratusan nelayan dari dua kampung, Nambangan dan Bulak Cumpat, mengusir kapal dari PT Gora Gahana, rekanan Pelindo III. Kapal ini sedang menambang pasir di tengah Selat Madura. Warga menolak pengerukan pasir laut ini. Sebelum itu, unjuk rasa sempat ricuh di kantor Kelurahan Tambak Wedi, Surabaya, Jawa Timur (Jatim).
Proses pengusiran sempat bersitegang karena kapal penambang pasir perusahaan ini dijaga anggota TNI Angkatan Laut. Mereka berseragam lengkap. Kemungkinan aparat negara ini anggota dari Pangkalan Utama Angkalan Laut (Lantamal) V. Para nelayan mendesak PT Gora Gahana menghentikan penambangan. Mereka khawatir mematikan mata pencaharian dan merusak habitat ikan.
Hasil penambangan pasir itu akan dibawa ke kawasan Oso Wilangun untuk pengurukan laut dan pembangunan Pelabuhan Teluk Lamong. Luas selat yang akan menjadi lokasi penambangan pasir sekitar 510 hektar. Penolakan nelayan terus terjadi. Upaya warga tak hanya aksi. Mereka sudah dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Jatim dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jatim, akhir Juni 2012. Hasilnya, sepakat merekomendasikan moratorium semua jenis perizinan aktivitas penambangan di selat Madura. Lagi-lagi, semua diabaikan PT Gora Gahana. Kapal-kapal penambang pasir ditempatkan di titik-titik eksplorasi, dan mulai menambang diam-diam. Polisi air yang seharusnya bertugas melindungi dan menjaga keamanan laut, malah terkesan membiarkan.
Pada awal November 2012, Walhi Jawa Timur (Jatim) bersama Forum Masyarakat Pesisir Suramadu (FMPS) mengeluarkan pernyataan sikap. Mereka menolak rencana proyek penambangan atau pengerukan pasir di perairan Selat Madura. Juga menolak reklamasi & cabut izin usaha penambangan pasir di seluruh pesisir Indonesia.
Mereka mendesak pemerintah menghormati dan melaksanakan Putusan MK NO. 3/PUU-VIII/2010 . Yakni, hak untuk melintas, mengelola sumber daya sesuai kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini turun-temurun. Hak memanfaatkan sumber daya, dan hak mendapatkan perairan bersih dan sehat.
Sebab, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Khusus, pembatalan pasal-pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang melarang praktik pengkaplingan atau pravitisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. FMPS dan Walhi meminta Gubernur Jatim bertindak tegas dan mematuhi peraturan rencana tata ruang dan wilayah perairan selat Madura.
Ternyata anjing menggonggong kafilah berlalu. Penolakan gencar, penambangan tetap jalan. Awal Maret 2013, protes kembali datang dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) . Lembaga ini mengecam aktivitas penambangan pasir oleh berbagai perusahaan yang mengancam ekosistem dan berdampak pada pencaharian nelayan tradisional.
Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara Selamet Daroyni dalam rilis kepada media mengatakan, aktivitas penambangan pasir di Selat Madura makin gencar, padahal diprotes keras nelayan di Suramadu,” katanya di Jakarta seperti dikutip dari Antara.
Ironisnya, penambangan pasir laut di Selat Madura itu sudah sejak 2006 dengan kedalaman sekitar 12 meter. “Nelayan terus melakukan berbagai penolakan terhadap penambangan pasir yang telah merusak ekosistem dan mengancam pendapatan nelayan.”
Kiara juga mengkritik Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Aturanini dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan Perpres ini, negara menyetujui praktik pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menggusur masyarakat nelayan dari sumber-sumber kehidupan mereka.
Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 sudah mengamanatkan hak-hak konstitusional nelayan, termasuk nelayan tradisional yang harus dilindungi, dijamin, dan dipenuhi.
Data Kiara pada Januari 2013, menemukan sekitar 15 kabupaten dan kota di Indonesia menjalankan proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dikutip dari Jurnas.com, selama satu dekade terakhir Kiara menemukan program reklamasi dengan kegunaan mengerucut pada pengkavlingan wilayah pesisir dan laut. Pengkavlingan terutama untuk permukiman mewah, sarana rekreasi komersil, kawasan niaga, pelabuhan, kawasan industri hingga perhotelan.
Pada 2011 Kiara, mencatat, proyek reklamasi pesisir berlangsung di lebih dari 10 wilayah. Masing-masing lokasi itu di Pantai Utara Jakarta; pesisir Kota Semarang; Pantai Kenjeran (Surabaya), Pantai Kalasey (Sulawesi Utara), Pantai Manakara(Sulawesi Barat), Teluk Palu( Sulawesi Tengah) Pantai Losari (Sulawesi Selatan), Teluk Lampung, Padang Bay City (Sumatera Barat) dan Teluk Balikpapan (Kalimantan Timur). Luas ekosistem pesisir yang terancam musnah lebih dari 5.775 hektar (Sapariah Saturi)