JAKARTA – Para nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan masyarakat pesisir sekitar Selat Madura yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pesisir Suramadu mengadukan kegiatan penambangan pasir di daerahnya kepada Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.
Protes ini karena mereka menduga kegiatan penambangan pasir laut “dilindungi” oknum TNI setempat.
Abdul Halim dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Selasa (30/10/2012), di Jakarta, memaparkan, sehari sebelumnya, para nelayan dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur kemarin menyandera kapal pengeruk pasir. Aksi ini dilakukan karena penambangan pasir terus berlanjut meski masyarakat keberatan.
Para nelayan dan aktivis lingkungan beralasan, penambangan pasir telah merusak kualitas perairan. Dampaknya, mereka dipastikan semakin sulit memburu tangkapannya. Artinya, pemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir akan semakin berlangsung.
Alasan ini pula yang secara gamblang diungkapkan Forum Masyarakat Pesisir Suramadu kepada Panglima TNI. Surat itu tertanggal 29 Oktober 2012 dan ditembuskan kepada Presiden, Ketua DPR, Ketua Komisi IV DPR, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan.
Dalam surat itu dikatakan, “Pada hari Kamis tanggal 10 Mei 2012, pihak DISPOTMAR LANTAMAL V yang dipimpin oleh Bapak Letkol Bakat Gunawan beserta jajarannya dan PT ORAGAHANA melakukan sosialisasi rencana pengerukan pasir di perairan Selat Madura dengan luas 540 ha. Sosialisasi dilakukan di Pendapa Kelurahan Kedung Cowek, Surabaya. Akan tetapi, rencana itu ditentang dan ditolak keras oleh masyarakat pesisir dan nelayan Selat Madura.”
Penolakan dilakukan karena pengerukan pasir telah memberi dampak buruk secara ekonomi, ekologis, sosial, dan budaya bagi nelayan dan masyarakat pesisir Selat Madura yang mayoritas penduduknya menggantungkan sumber-sumber kehidupannya di laut.
Perusahaan tersebut sudah beberapa kali melakukan penambangan pasir pada tahun-tahun sebelumnya dan tidak bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan akibat dari penambangan pasir tersebut.
Selain itu, rencana pengerukan pasir dinilai mengingkari Pasal 35 huruf (i) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil.
(c) KOMPAS.com