Yogyakarta – Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam penanggulangan bencana dan mengakui pentingnya memperkuat upaya pengurangan risiko bencana di tingkat lokal. “Pencapaian yang diharapkan dalam AMCDRR ini antara lain deklarasi terhadap komitmen yang disertai rencana aksi dan tindak lanjut strategi dalam rangka meningkatkan kapasitas lokal dalam pengurangan risiko bencana,” kata Syamsul Maarif dalam rilis Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) di Yogyakarta.
Menanggapi pernyataan Syamsul Maarif di atas, Sofyan, dari Bingkai Indonesia kepada Mongabay Indonesia mengatakan, apalah artinya konferensi ini apabila pemerintah mengabaikan bencana akibat kesahalan teknologi seperti yang terjadi di Lapindo, Porong, Jawa Timur. Pemerintah Indonesia dalam penanganan bencana lebih mengutamakan kepada ganti rugi tanah semata, akan tetapi sering mengabaikan pemulihan hak sosial lain dari korban bencana itu sendiri. “Konferensi ini sama sekali tidak ada agenda terkait bencana yang disebabkan kesalahan teknologi seperti di Lapindo, saya kira ada unsur politiknya juga,” kata Sofyan.
Konferensi Internasional ini seharusnya jadi kesempatan bgi pemerintah RI untuk membahas penanganan bencana yang disebabkan oleh kesalahan teknologi (industri). Keberpihakan yang dilakukan pemerintah terhadap korban lapindo hanya sebatas pada APBN saja.
Berdasarkan data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran/Fitra (2012), anggaran APBN bagi penanganan lumpur Lapindo adalah Rp. 9,4 trilun (APBN 2006), APBN 2007 Rp. 6,3 miliar, APBN 2007, Rp. 144,8 miliar APBN 2008, Rp. 513,1 miliar APBN 2009, Rp. 705,8 miliar APBsN 2009, APBN 2010 Rp. 636,8 miliar, APBN 2011 Rp. 1,262 trilun, APBN 2012 Rp. 1,304 triliun dan APBN 2013 Rp. 2, 3 triliun, APBN 2014, Rp. 1,709 triliun dan APBN 2015 sebesar Rp. 1, 709 triliun. Dari anggaran sebesar ini yang di gelontorkan oleh negara, ketidakadilan jelas sangat dirasakan. “Lapindo yang melakukan kesalahan, akan tetapi negara yang bertanggung jawab, ini tidak adil, seharunya Lapindo yang bayar ganti rugi,” Sofyan menegaskan.
Senada dengan Sofyan, Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana, Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, kepada Mongabay Indonesia mengatakan, tidak ada sama sekali agenda yang membahas tentang kesalahan teknologi sebagai penyebab bencana di Lapindo dan lebih banyak membahas kepada persoalan penanganan serta penanggulangan bencana dari berbagai perspektif. “Saya melihatnya, tidak ada yang mengawal isu ini dalam konferensi ini. Negara lain juga terlihat tidak punya kepentingan dengan isu ini, sehingga dirasa negara lain merasa isu ini tidak penting untuk dibahas. Bahkan yang terlihat masing-masing negara punya kepentingan di konferensi ini,” kata ET Paripurno.
Selain itu, Direktur Eksekutif, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Oni Mahardika kepada Mongabay Indonesia juga menyayangkan hal serupa. Pemerintah Indonesia terkesan tidak peduli dan mengacuhkan bencana yang terjadi di Lapindo yang jelas-jelas disebabkan oleh Korporasi. Seharusnya negara punya inisiatif memasukan agenda forum tentang bencana yang disebabkan kesalahan teknologi dalam AMCDRR ini.
Hal ini akan menjadi pembelajaran bagi negara lain dan Indonesia sendiri sebagai tuan rumah. Bahkan menjadi forum sharing dengan negara lain yang mungkin punya mekanisme penanganan bencana yang disebabkan kesalahan teknologi. “Ini jelas kesalahan dari pengeboran. Tidak akan terjadi bencana, kalau tidak ada pengeboran,” kata Oni.
Seharusnya, sebagai tindak lanjut dan komitmen negara dalam konferensi ini, negara dalam hal ini pemerintah harus segera memenuhi hak masyarakat korban Lapindo berupa ganti rugi perumahan, jaminan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan hak lainnya. Selain itu, karena bencana ini ditanggung oleh APBN negara, sudah seharusnya negara punya sikap terhadap perusahaan penyebab bencana lingkungan ini. “Kalau negara ini tegas dan peduli, negara harus menyita semua aset perusahaan. Selain itu, warga harus mendapatkan keadilan dan haknya kembali,” tegas Oni. (Tommy Apriando)