Sebuah Pengantar Catatan Kolaborasi 7 Wilayah Krisis Jatim

*Wahyu Eka Styawan, Lila Puspitaningrum, Ach Juli Tintin Sukroni, Pradipta Indra Ariono, Usman & M Afandi

Selama satu tahun ini kami melakukan beberapa aktivitas yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya, yakni tetap melakukan advokasi, pendidikan dan kampanye sebagai salah satu kegiatan utama WALHI Jawa Timur, baik dilakukan oleh eksekutif daerah maupun saat bersama anggota dan tentu jaringan perjuangan di tapak atau mitra kerja strategis. Tentu rekam jejak tersebut dapat ditelusuri dalam website kami walhijatim.org atau di media sosial kami. Bahkan bisa mencari di aneka platform yang tersedia, cukup mengetik WALHI Jawa Timur atau WALHI Jatim niscaya akan tersedia informasi aktivitas kami.

Sepanjang tahun 2022 bagi kami adalah waktu yang sangat panjang, aneka persoalan lingkungan hidup atau kami lebih suka menggunakan istilah problem sosial ekologis, untuk menunjukkan bahwa problem lingkungan bukan hanya soal kerusakan ekosistem atau keharusan konservasi, atau tindakan-tindakan ala mesias yang dilakukan individu. Tetapi problem lingkungan adalah persoalan interseksional yang beririsan dengan ekonomi, politik dan budaya. Yang oleh beberapa teoretis terkemuka seperti Jason W Moore dikatakan problem lingkungan bukan soal manusia atau digambarkan dalam logika anthropocene, tetapi melampauinya, yakni berkembang seiring waktu dengan tumpuan sejarah panjang meminjam konsep Fernand Braudel yakni longue duree dari transisi dan transformasi ekonomi, yang secara teoretik dirumuskan dalam pendekatan logika capitalocene.

Kami menemui banyak persoalan sosial ekologis merupakan perpaduan sejarah penindasan sejak era kolonial, perampasan hak hidup di era kediktatoran Soeharto melalui proyek liberalisasinya, sampai era reformasi yang dipenuhi oleh kelompok oligarki sisa-sisa orde baru yang juga beranak pinak hingga menjadi penguasa sampai sekarang ini, coba baca Indonesia The Rise Capital oleh Richard Robinson, lalu Reorganising Power in Indonesia The Politics of Oligarchy yang ditulis oleh Vedi Hadiz atau Oligarchy yang ditulis oleh Jeffrey Winters. Maka tabir korelasi perampasan ruang hidup dan aneka kehancuran sosial ekologis di Indonesia, khususnya di Jawa Timur tidak jauh dari kuasa modal dan politis para kelas penguasa. Tak heran muncul UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU KUHP dll, sampai saat UU Cipta Kerja dianggap inkonstitusional, mendadak pemerintah menerbitkan PERPU Cipta Kerja.

Jawa Timur merupakan wilayah dengan kasus bencana ekologis yang kompleks, hampir di setiap wilayahnya terdapat aneka pelanggaran lingkungan, kerusakan sumber kehidupan, pengambilalihan atas ruang hidup dan penyingkiran warga dari ruang-ruang kehidupannya. Setidaknya dalam kerangka yang sampai sekarang WALHI Jawa Timur masih pertahankan yakni pendekatan 7 Wilayah Krisis yang meliputi Tapal Kuda, Pesisir Selatan, Malang Raya, Surabaya Raya, Mataraman, Pantura dan Madura Kepulauan, hampir di semua titik terdapat bencana ekologis.

Bencana ekologis ini kami maknai bukan sekedar bencana iklim atau orang awam mengatakan sebagai bencana alam, tetapi kami melihat bahwa aneka bencana baik sifatnya karena krisis iklim atau seolah-olah alami. Kami justru melihat aneka bencana yang menjadi beban bagi dari warga merupakan dampak dari eksploitasi atas alam, terutama melalui modal, kekuasaan dan hegemoni yang terus menerus dilakukan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh David Harvey melalui pendekatan accummulation by dispossession bahwa pola-pola eksploitasi berawal dari sebuah konsep perampasan ruang melalui kebijakan neoliberal yang bertujuan untuk memusatkan kekuasaan dan kekayaan ditangan segelintir orang, secara operasional kebijakan tersebut memiliki kerangka untuk dispossesing atau mengambil alih hak publik dan pribadi. Ada empat hal yang menjadi instrumen dari akumulasi atau eksploitasi ini yakni privatisasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, serta redristribusi negara.

Pada akhirnya itu terbukti dengan aneka kebijakan di Indonesia pada era Jokowi yang melakukan perombakan besar-besaran pada regulasi sebagai imbas kebijakan neoliberal. Salah satu yang muncul adalah keberadaa Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mineral dan Batubara, dan aturan lainnya sampai yang terbaru revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang pada beberapa bagian berupaya merepresi kepentingan publik dan warga negara. Parahnya mereka pun melakukan tindakan inkonstitusional atas dasar urgensi sebagai bentuk manipulasi krisis dan redistribusi kewenangan negara pada pemodal melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada awal Januari 2023 ini.

Imbas kebijakan tersebut adalah dibukanya gerbang investasi besar-besaran, melalui obral konsesi, penurunan royalti sampai amnesti pajak hingga pengurangan pajak hingga pembangunan berkedok Proyek Strategis Nasional, sebagian besar memanjakan pemodal, seperti yang diungkapkan Harvey sebagai instrumen privatisasi dan finansialisasi. Dampaknya tidak hanya secara nasional tetapi menjurus ke skala lokal, di mana aneka percik-percik perampasan atas ruang hidup menyala pada setiap ruang, tak terkecuali Jawa Timur.

Kami dari WALHI Jawa Timur mencatat melalui pencatatan lapangan dan observasi, bahwa ada beberapa bentuk perampasan ruang hidup di Jawa Timur yang secara umum kami kelompokan dalam tiga tipe, pertama yakni tata ruang, kedua tambang dan ketiga adalah hutan dan kebun. Meski selain itu ada juga bentuk perampasan melalui obral izin lingkungan, ketidakpatuhan dengan regulasi sampai pembiaran untuk konteks pencemaran lingkungan. Setidaknya, secara garis besar aneka problem di atas turut diperparah dengan munculnya aneka kebijakan.

Prosentase tersebut didapatkan dari pengalaman advokasi kami, baik yang terlibat secara langsung maupun hanya sekedar menjadi teman diskusi. Dari 121 kasus tata ruang, seperti revisi tata ruang dan tumpang tindih kawasan sebagaimana di Malang Raya, lalu 24 kasus tambang, dari tambang emas dengan korporasi raksasa seperti di Tumpang Pitu, Trenggalek sampai Pacitan, lalu paling banyak dan berserakan terdapat tambang galian yang komplek karena melibatkan multi-pihak dari politisi, keamanan dan orang kuat lokal.

Tak jarang juga kasus pertambangan menyebabkan perisakan sampai kriminalisasi. Kemudian ada sekitar 36 kasus di wilayah hutan dan kebun, konflik pengelolaan hutan dan perampasan lahan oleh perkebunan dan perhutani, sampai mengakibatkan terusirnya warga hingga kriminalisasi. Terakhir ada sekitar 48 kasus lain-lain, seperti pencemaran sungai, pencemaran udara dan problem sampah, sebagai bentuk pelanggaran korporasi dan lalainya pemerintah.

Kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil yang kami catatkan atau menjadi perhatian. Di Jawa Timur sendiri sangat terasa bagaimana peran kelas penguasa yang didominasi oleh orang super kaya bersama satelit-satelitnya, lalu peran aparatus negara yang seharusnya adalah alat penegak Undang-undang Dasar tetapi malah menjadi aktor yang melindungi oligark.

Bagaimana banalitas perampasan ruang melalui PERDA RTRW, penerbitan konsesi tambang di wilayah rawan bencana seperti sepanjang Pesisir Selatan mulai dari Pacitan, Trenggalek hingga Banyuwangi. Bagaimana proyek strategis nasional merampas tanah-tanah warga yang tak mampu berbuat apa-apa, bahkan mereka dikasih tahu hanya beberapa bulan sebelum proyek dijalankan. Semua terjadi dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling.

Sepanjang 2022 adalah momen bagaimana kekuatan modal berjalan, bagaimana perampasan ruang dijalankan, bagaimana pengasingan manusia dilakukan, bagaimana ketergantungan diciptakan melalui perampasan tanah dan hutan, sehingga mengakibatkan lahirnya kerja upahan. Semua tereksklusi, oleh kekuasaan politis, eksploitasi banal kapitalisme yang melahap ruang dan waktu, sampai spiral kekuasaan yang direproduksi untuk melanggengkan kekuasaan dan kekayaan segelintir. Lalu akibatnya mengakibatkan bencana yang berkelindan dengan perampasan hak atas hidup.

Tentu, catatan ini bukan catatan akhir tahun atau awal tahun, hanya sebuah refleksi atas perjalan kami di Eksekutif WALHI Jawa Timur. Sebuah catatan kongruen yang merekam aktivitas kami bersama warga, tentu dengan segala kekhawatiran, ketakutan dan keluh kesahnya. Di mana cita-cita kemerdekaan dan UUD NRI 1945 telah dirampas, dibajak dan dikhianati oleh kerakusan segelintir orang yang kami sebut oligarki atau kafir ekologis.

Sebenarnya masih banyak kasus bencana ekologis di Jawa Timur. Rekap advokasi ini paling tidak menggambarkan kompleksitas kasus yang ada di Jawa Timur, di mana warga tengah berjuang dari perampasan ruang hidup, berusaha bertahan dengan adaptasi sebisanya atau dipaksa untuk menyesuaikan sebagai ekses dari dependensi dari sebuah eksploitasi, tak jarang beberapa harus kalah dan pergi dari rumah yang memiliki banyak kenangan. Narasi-narasi tersebut sebagian kecil akan coba kami sajikan dalam tulisan-tulisan hasil perjalanan advokasi bersama warga sepanjang 2022 ini pada tulisan selanjutnya.

*Catatan ini merupakan pengantar dalam catatan refleksi advokasi WALHI Jatim yang berjudul “Catatan Kolaborasi di 7 Wilayah Krisis Jawa Timur Sepanjang Tahun 2022” yang dapat diunduh di link berikut: https://bit.ly/Catatanjatim2022