Reportase: Wahyu Eka Setyawan
Di awal aksi warga tolak tambang dengan tegas ingin bertemu dengan Gubernur Khofifah dengan tuntutan aksi:
1. Mencabut Izin Usaha Pertambangan PT.BSI dan DSI guna terciptanya keselamatan, keberlanjutan dan pemulihan lingkungan dan ruang hidup warga Sumberagung dan sekitarnya
2. Memulihkan kawasan yang telah rusak di Tumpang Pitu dan demi menjamin kehidupan masyarakat berbasis kelestarian lingkungan dan pengurangan risiko bencana
Saat teman-teman solidaritas hingga wartawan mencoba menghubungi Gubernur Khofifah, malah kekecewaan yang didapatkan. Gubernur mengatakan dalam pesan singkatnya, jika ia tidak berwenang dalam mencabut izin pertambangan. Dia mengungkapkan yang bisa mencabut adalah pemerintah pusat. Tetapi faktanya, berdasarkan tata aturan yang berlaku bahwa, sesuai dengan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 113 ayat (1) bahwa penghentian sementara dan atau seluruh kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi:
1. keadaan kahar; keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;
2. Apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.
Begitu pula mengenai permohonan pencabutan izin usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 119 mengatakan bahwa:
“IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:
pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan; […]”
Sehingga pernyataan Gubernur Khofifah secara tidak langsung terbantahkan. Mengapa warga dengan tegas menolak pertambangan emas, pertimbangannya adalah keberlanjutan ekosistem. Selain itu ada aneka aturan yang diduga dilanggar, seperti terkait Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang berbunyi: “Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.”
Selanjutnya ada tata ruang yang dilanggar dalam bentuk alih fungsi hutan, di mana tutupan hutan di Jawa yang kurang dari 30%, namun di tahun 2013, Zulkifli Hasan mengabulkan penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi dengan tujuan eksploitasi pertambangan, melalui SK. 826/Menhut–II/2013. Selain itu, ada juga perihal proses tukar guling dari alih fungsi tersebut tak jelas, di mana ada dugaan korupsi berkaitan sektor sumber daya alam di sana.
Segelintir data tersebut, merupakan bukti kekacauan dari pemberian izin tambang di Tumpang Pitu. Belum lagi berbicara terlibatnya elite politik dan kelompok oligarki yang semakin mengakselerasi kehancuran di Tumpang Pitu dan sekitarnya. Ini dapat dilihat dari penetapan objek vital nasional yang penuh muslihat, hingga terkait adanya tata ruang yang melegitimasi pertambangan di wilayah lindung Tumpang Pitu dan sekitarnya.
Berjumpa di Gedung Grahadi, Gubernur Diam Tak Bersuara
Setelah tujuh hari aksi, warga akhirnya ditemui oleh Gubernur Khofifah beserta wakilnya. Warga menyerahkan berkas bukti mengapa tambang harus dicabut. Data-data itu menjadi pertimbangan untuk Gubernur agar lebih berpikir tentang keberlanjutan lingkungan hidup, daripada memaksakan pertambangan yang akan menimbulkan banyak kerugian pada kemudian hari.
Gubernur tak bergeming, tak menjawab apapun. Malahan yang menjawab adalah ESDM yang diwakili Setiajit dengan logika kacaunya. Katanya Pertambangan sudah sesuai dengan logika kelestarian, dipantau dinas dan kementrian. Padahal ada aspek yang dilupakan yaitu keberlanjutan. Perlu dicatat, bahwa ESDM Jawa Timur dan juga DLH Jatim seringkali mengabaikan tambang galian C ilegal dan legal yang melanggar ketentuan, sebagaimana di Mojokerto dan Banyuwangi sendiri. Sering abai dengan pencemaran lingkungan oleh industri di sekitar DAS Brantas dan Bengawan Solo.
Namanya ekstraktif akan mengeruk bumi, menyerap intisari alam dan menjadi komoditas. Pasar menentukan produksi, sehingga terlalu naif berkata pertambangan akan menjaga ekosistem. Warga yang menolak dan pro katanya seimbang, hanya berdasarkan tanda tangan. Tetapi pemikiran yang berperspektif biosentrisme tidak ada, adanya hanya eksploitasi dan eksploitasi.
Pertemuan tersebut tak menghasilkan apa-apa, tentu warga kecewa. Selepas berjumpa dengan Gubernur mereka bergeser ke Kantor Gubernur Jatim untuk bergabung dengan massa aksi lainnya. Di dalam guyuran hujan rintik, setelah sebelumnya hujan deras. Warga mengungkapkan akan terus berjuang, dan melakukan aksi-aksi demi kelestarian Tumpang Pitu dan sekitarnya.
“Gubernur tidak menjawab, beliau diam dengan apa yang kita tuntutkan. Tumpang Pitu dan Salakan adalah hidup kita, harus dijaga demi anak cucu. Jika dalam waktu 30 hari Gubernur tidak menjawab, maka kami sendiri yang akan menutup tambang tersebut.” Cetus Nurhidayat selaku warga tolak tambang
Nurhidayat menambahkan jika aksi selama tujuh hari sementara berhenti, ke depan akan terus berlangsung, sesuai dengan keyakinan tentang pentingnya kelestarian Tumpang Pitu, Salakan dan sekitarnya.
“Kami akan tetap berdiri dan bersuara demi kelestarian gunung kami!!!” Kata Nurhidayat di akhir aksi.