Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur
Keseriusan pemerintah dalam upaya menyelamatkan ruang hidup rakyat kembali dipertanyakan, pemberian penghargaan Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup kepada PT BSI, selaku operator pertambangan emas di wilayah Tumpang Pitu, Pesanggaran, Banyuwangi oleh Gubernur Jawa Timur semakin menunjukkan ketiadaan komitmen perlindungan terhadap keselamatan rakyat, khususnya di pesisir selatan Jawa Timur. Pertambangan ini telah menimbulkan gejolak penolakan di warga terdampak, yang merasakan ancaman kerusakan ekologis pasca beroperasinya kegiatan pertambangan tersebut.
Masih lekat dalam ingatan warga kejadian banjir lumpur sepanjang Agustus hingga September 2016 yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Pulau Merah, menghancurkan lahan pertanian serta menyebabkan penurunan pendapatan di sektor pariwisata dan kelautann (nelayan) di Pantai Pulau Merah. Kejadian banjir ini diduga kuat disebabkan oleh kerusakan kawasan hulu gunung Tumpang Pitu, akibat aktivitas eksploitasi pertambangan emas. Padahal sebelumnya wilayah tersebut merupakan hutan lindung, wilayah penyangga kawasan konservasi Meru Betiri yang sangat vital fungsi.
Ancaman perluasan wilayah pertambangan di Jawa Timur sendiri, merupakan salah satu problem nyata yang harus dihadapi oleh rakyat. Berdasarkan data yang dihimpun melalui Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara, menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah IUP di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibanding data Kementerian ESDM di tahun 2012 yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016.
Namun secara substansial terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan.
Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya sekitar 86.904 hektar, maka pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektar. Artinya jika merujuk dalam dua dokumen tersebut, maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 535% hanya dalam rentang waktu empat tahun saja.
Pemberian penghargaan Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup kepada industri ekstraktif pertambangan, tentu saja menjadi sebuah pertanyaan besar. Kawasan selatan Jawa Timur telah lama menjadi kawasan budidaya, baik pertanian maupun sebagai kawasan tangkapan perikanan, sehingga aktivitas pertambangan yang eksploitatif, rakus lahan dan rakus air akan sangat kontraproduktif. Karena cukup bertolak belakang dengan kebutuhan warga, terutama berbicara tentang keberlanjutan fungsi-fungsi alam sebagai syarat budidaya mereka.
Sebelumnya, konflik terkait aktivitas pertambangan di wilayah selatan Jawa Timur sudah berulang kali terjadi, mulai dari rencana pertambangan emas di Silo, Jember yang mendapat penolakan warga, tambang emas di wilayah Trenggalek, tambang pasir besi di pantai Paseban, Kencong, Jember. Lalu sepanjang pantai Jolosutro di Blitar, sampai meluas hingga pantai Wonogoro di Kabupaten Malang. Masih basah ingatan kami kala tragedi penolakan tambang pasir besi di wilayah pesisir selatan Lumajang, akhirnya memakan nyawa seorang pejuang lingkungan bernama Salim Kancil.
Namun, munculnya konflik-konflik yang bahkan sampai menelan korban jiwa seperti ini sama sekali tidak menjadi pelajaran bagi pemerintah, terlebih terkait komitmen mereka untuk segera melakukan perubahan penataan kawasan. Sehingga pemberian penghargaan terkait lingkungan hidup oleh Gubernur Jawa Timur kepada perusahaan ekstraktif pertambangan tentu saja layak dipertanyakan.
“Aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan lingkungan telah lama menjadi momok mengerikan bagi masyarakat, selain menyebabkan eskalasi konflik lahan, pertambangan juga mengakibatkan peningkatan bencana ekologis, sehingga pemberian penghargaan kepada industri ekstraktif menunjukkan bahwa Gubernur Jawa Timur tidak peka situasi krisis ekologi wilayahnya” tutur Rere Christanto, selaku Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur.
Menurut catatan WALHI Jatim, dalam 6 tahun terakhir (2013-2018), eskalasi bencana ekologis di Jawa Timur terus menerus meningkat. Pada tahun 2013 jumlah bencana ekologis tercatat ada 233 kejadian, jumlah ini terus meningkat hingga pada tahun 2018 tercatat setidaknya ada 455 kejadian bencana ekologis. Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi dan kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia, adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan. Dalam hal ini, bencana ekologis menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal mematuhi regulasinya sendiri, sehingga menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dan Jawa Timur juga telah menggarisbawahi bahwa kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana. Dengan mengacu pada kenyataan ini, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana.
“Kawasan selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan wilayah-wilayah yang penting secara ekologis menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan resiko bencana di Indonesia.” Tegas Rere Christanto lebih lanjut.
Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan tindakan konkrit dan tegas dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan segenap jajaran pemerintah daerah, guna menghasilkan kebijakan yang mampu mencegah munculnya konflik-konflik pertambangan di kawasan selatan Jawa Timur. Pencabutan wilayah usaha pertambangan dari kawasan pesisir selatan, serta pemerintah harus menetapkan kawasan lindung dan konservasi di wilayah selatan Jawa Timur, menjadi sebuah syarat mutlak untuk pemulihan kawasan dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis. Pada intinya pemerintah wajib hukumnya melakukan penyelamatan ruang hidup rakyat, sebagai mandat konstitusi dan rakyat.
Kontak Media:
Rere Christanto– 083857642883 (Direktur Eksekutif WALHI Jatim)
WALHI Jawa Timur
Jl. Karah Agung V No. 1, Jambangan, Surabaya | 031-99043829 | admin@walhijatim.or.id