Mewajarkan Kekerasan Sebagai Dalih Pembangunan Nasional

Oleh Moch. Rizky Pratama Putra

 

 

 

“Hidup yang tak diperiksa tak layak dijalani.”

– Socrates

 

Hari sudah mulai memasuki usia senjanya, hujan pun mulai menunjukkan tanda akan segera reda. Sedari pagi, hujan mengguyur Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Di salah satu teras rumah di desa tersebut, tampak seorang anak kecil sedang bermain dengan kawan-kawannya. Tak berselang lama, “Kring, Kring!” terdengar suara ponsel berdering dari ruang tengah rumah tersebut. Anak kecil yang tadi begitu asyik bermain dengan kawan-kawannya, langsung lari untuk mengambil ponsel yang tengah berdering itu, seakan dia tahu siapa yang sedang menelepon itu. “Ayah! Ibu nakal.” rengeknya. Ibunya yang sedang memasak segera menghentikan aktifitasnya untuk menghampiri anaknya. Anak kecil itu memberikan ponsel itu kepada ibunya, dan berlari kembali menghampiri kawan-kawannya di depan rumah.

Ya, anak kecil itu bernama Nensi Rahmawati. Selain lewat ponsel, setiap minggunya Nensi harus menempuh jarak kurang lebih 75 kilometer hanya untuk bertemu dan memandang wajah Ayahnya. Untuk seorang anak yang baru berumur 3 tahun tentunya bukanlah hal mudah untuk berpisah dari Ayahnya. Tidak hanya Nensi yang merasa sedih, Ibunya, Indah pun merasa sangat kehilangan atas penahanan suaminya. “Semenjak suami saya ditahan, saya kerepotan, karena harus ngurus anak, harus ke ladang, harus ngurus rumah.” kata Indah Sutami saat diwawancara di rumahnya.

Sejak 4 September 2017, Heri Budiawan atau Budi Pego ditahan oleh Kejaksaan Negeri (KEJARI) Banyuwangi atas tuduhan melakukan tindak pidana penyebaran dan megembangkan ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme di muka umum. Pasal yang digunakan untuk menjerat Budi adalah Pasal 170a Undang-Undang RI No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Kasus penahanan Budi ini berawal dari aksi demontrasi warga Desa Sumberagung yang menolak eksploitasi pertambangan emas di Bukit Tumpang Pitu.

Kasus kriminalisasi terhadap Budi Pego ini tidak bisa dipisahkan dengan aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Bumi Suksesindo. Sejak mereka melakukkan pertambangan di Bukit Tumpang Pitu pada 2012 lalu, puluhan warga sudah menjadi korban kriminalisasi karena menolak kehadiran pertambangan. Menurut data dari Selamatkanbumi.com, setidaknya ada lima kali usaha kriminalisasi terhadap sebelas warga yang melakukan penolakan terhadap pertambangan emas yang dilakukan oleh PT Bumi Suksesindo (BSI). Angka ini tentunya menunjukkan bahwa berbahayanya kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penolakan terhadap aktifitas pertambangan demi mempertahankan ruang hidupnya. Inilah yang menyebabkan terjadinya konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah.

Pertambangan yang dilakukan di Bukit Tumpang Pitu ini tidak hanya menyebabkan kriminalisasi terhadap warga, tapi juga sangat rawan terjadinya konflik antar warga sendiri. Beberapa indikasi terlihat dari beberapa organisasi masyarakat yang muncul untuk mendukung pertambangangan di Bukit Tumpang Pitu, salah satunya adalah FORSUBA (Forum Suara Blambangan).

Seperti yang dilansir oleh portal berita online Banyuwangitimes.com, Ketua FORSUBA yang juga sesepuh dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor Banyuwangi, Abdillah Rafsanjani, mengatakan bahwa FORSUBA siap berada di barisan terdepan untuk mengawal pertambangan emas di Bukit Tumpang pitu, dengan alasan dari investasi PT BSI, Kabupaten Banyuwangi akan mendapatkan bagi hasil sebesar 10 persen. Sebagai wujud dukungannya, FORSUBA dengan seratusan lebih anggotanya melakukan apel siaga dan patroli di sejumlah titik rawan sekitaran lokasi pertambangan.

Dominasi dan Kekekarasan Simbolik

Dalam menganalisis kekerasan simbolik (kekesaran terselubung) yang terjadi dalam kasus yang menjerat Budi Pego dan keluarga, penulis mencoba menggunakan metode Strukturalisme Generatif milik Pierre Bourdieu sebagai pisau analisis. Pertama kita akan melihat apa yang melatar belakangi Budi Pego melakukan protes terhadap pertambangan yang terjadi di desanya yang kemudian hari malah membuatnya terjerat tuduhan-tuduhan yang belum bisa dibuktikan. Karena dalam proses penulisan esai ini, persidangan yang menyidangkan kasus Budi Pego masih berlangsung dan belum ada putusan dikeluarkan.

Budi Pego, seorang petani yang tinggal di sebuah desa kecil yang terletak di jalur lintas selatan (JLS) Pulau Jawa. Jalur ini merupakan suatu wilayah yang sangat banyak diminati oleh industri-industri ekstraktif dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Tercatat, dalam data yang dihimpun Walhi Jatim, setidaknya ada 356 izin usaha pertambangan yang diterbitkan oleh Gubernur sampai tahun 2013 (Renstra ESDM Jatim 2015-2019, Hal. 32). Sedangkan dalam IUP dan IPR yang diterbitkan oleh Bupati dan Walikota seluruh Jawa Timur sampai pada tahun yang sama yaitu 2013, terdapat sebanyak 442 izin. Tidak hanya itu, berdasarkan data dari Catatan Akhir Tahun 2016 Walhi Jawa Timur, di dalam regulasinya terlihat ada perpindahan kapital ekonomi dari Pesisir Utara Jawa (Pantura) ke Pesisir Selatan Jawa (JLS). Sebagai contonya adalah UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batu Bara, dalam regulasi tersebut seakan mengamini bahwa tidak sedikitpun di dalamnya terdapat peluang rakyat untuk memiliki hak memberikan pendapatnya, baik hak untuk menolak, ataupun hak tata kelola ruang hidupnya atas hadirnya proyek pertambangan di wilayah mereka.

Ini menunjukkan bahwa apa yang dialami Budi Pego ini adalah potret kecil apa yang sebenarnya sedang terjadi di negeri ini. Sebagai seorang petani Budi Pego mempunyai hak untuk mempertahankan ruang hidupnya, di mana bila pertambangan ini berlanjut terus-menerus, ini akan menyebabkan degradasi benteng alam (Pegunungan Tumpang Pitu) yang kemudian menjadi bumerang bagi Budi Pego dan masyarakat sekitar karena rusaknya alam dan lenyapnya ruang hidup mereka. Dalam kelas sosial, petani selalu menempati posisi subordinasi dari kelas sosial di atasnya. Inilah yang Pierre Bourdieu sebut sebagai Habitus, sebuah proses dialektika internalisasi eksternalisasi seorang individu dalam kelas sosial di mana dia berada.

Kedua, Budi Pego dalam hal ini setidaknya mempunyai beberapa Kapital (modal) yang membuatnya berani bertarung dalam sebuah Arena (dalam hal ini adalah tambang). Pierre Bourdieu setidaknya menyebut empat perbedaan kapital dalam masyarakat, kapital ekonomi menjadi kapital yang pertama kali bisa terlihat secara kasat mata (kekayaan, uang dll). Namun kapital lain yang juga sangat berpengaruh di dalam masyarakat adalah kapital budaya, sosial, simbolik (kebanggaan). Budi Pego memang secara kapital ekonomi tidak setangguh apa yang dimiliki oleh pihak penambang, atau pun kapital budaya (ilmu pengetahuan) juga tidak dimilikinya. Tapi kapital sosial (hubungan sosial dalam masyarakat) menjadi kapital yang paling berharga dan menentukan dalam perjuangan Budi Pego bersama masyarakat dalam memperjuangkan ruang hidupnya, karena secara sosial masyarakat juga menerima dampak buruk dari terjadinya pertambangan tersebut.

Namun dengan tidak dimilikinya kapital ekonomi dan budaya oleh Budi Pego membuatnya menjadi sasaran empuk oleh pihak penambang dengan strategi mengkriminalisasi Budi Pego dan kawan-kawannya dengan tuduhan menyebarkan paham terlarang. Inilah yang kemudain melahirkan sebuah Doxa (wacana dominan) di masyarakat bahwa perjuangan yang dilakukan Budi Pego dan kawan-kawannya adalah sebuah tindakan terselubung dari sebuah paham terlarang. Kekuasaan atas kapital ekonomi dan budaya membuat pihak penambang berhak menentukan suatu stereotip terhadap Budi Pego. Karena pemerintah juga melegitimasi kriminalisasi ini dengan dalih pembangunan nasional sebagai sebuah Orthodoxa (wacana penguat Doxa). Sehingga wacana yang tersebar di masyarakat seakan mengamini kriminalisasi yang terjadi, karena di arena yang lain isu PKI sedang panasnya diperbincangkan. Sehingga dalam keberlanjutannya, perjuangan Budi Pego dan kawan-kawannya ini semakin tersudut dan menciptakan konflik horizontal dengan elemen lain di masyarakat.

Ini lah yang sebenarnya hendak penulis potret dari studi kasus yang terjadi pada Budi Pego, karena bukan hanya Budi Pego dan keluarga yang menjadi korban kekersan atas kasus kriminalisasi ini. Kita sebagai masyarakat juga menjadi korban atas otoritas kapital ekonomi dan budaya (ilmu pengetahuan) ini, karena kita tidak mempunyai akses yang sama terhadap kapital tersebut. Sehingga, legitimasi hanya bisa diproduksi bagi mereka yang mempunyai otoritas dengan strategi yang cukup licik dalam memanipulasi sebuah wacana di masyarakat (kekuasaan simbolik). Inilah yang Pierre Bourdieu sebut sebagai kekerasan simbolik, kekerasan yang terselubung yang alih-alih menampakkan dirinya secara gamblang (eufimisme). Kekerasan simbolik ini menyelinap ke ruang-ruang pribadi kita sehingga kita pun tidak sadar tengah menjadi korban juga atas kekerasan yang terjadi terhadap Budi Pego. Terakhir, tulisan ini juga sebagai bentuk Heterodoxa (bersifat kontra dengan Doxa), yang berusaha untuk menggulingkan wacana dominan yang berkembang di masyarakat bahwa dalih pembangunan nasional itu selalu baik, namun kenyataannya perlu kita periksa dan kritisi setiap ruangnya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ningtyas, Eka. 2015. Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power. Jogjakarta: Jurnal

Poetika Vol. III No. 2:154-157.

Konsorsium Pembaruan Agraria. 2016. Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria

Dibelokkan. Jakarta: Catatan Akhir Tahun 2016.

Krisdinanto, Nanang. 2014. Pierre Bourdieu Sang Juru Damai. Surabaya: Kanal. Vol. 2, No.

2:107-206.

Walhi Jatim. 2016. Mendiami Negeri Yang Tak Layak Huni. Surabaya: Catatan Lingkungan

Hidup Walhi Jawa Timur 2016.

Rachmawati, Ira. 2017. Dianggap Sebarkan Komunis, Aktivis Lingkungan di Banyuwangi

Ditahan. Diambil dari

http://regional.kompas.com/read/2017/09/05/09270081/dianggap-sebarkan-komunis aktivis-lingkungan-di-banyuwangi-ditahan/ (24 November 2017)

Afandi, Muhammad. 2017. Melawan Tambang, Puluhan Warga Banyuwangi

Dikriminalisasi. Diambil dari https://selamatkanbumi.com/id/melawan-tambang puluhan-warga-banyuwangi-dikriminalisasi/ (29 November 2017)

Arif, Syamsul. 2016. Tokoh Pergerakan Dukung Tambang Emas. Diambil dari

http://www.banyuwangitimes.com/baca/140980/20160424/211634/tokoh-pergerakan dukung-tambang-emas/ (29 November 2017)