Menyusur Brantas, Membaca Peradaban

Catatan Pengantar Susur Brantas 1 sahabatsungai.or.id – Kehidupan tidak bisa jauh dari air, karenanya peradaban tidak bisa dilepaskan dari sungai. Kawasan Brantas yang alirannya berputar mengelilingi sebagian besar wilayah Jawa Timur memiliki nilai strategis dalam menopang peradaban wilayah ini. Kawasan Brantas telah menjadi lokasi penemuan fosil-fosil dan artefak dari masa prasejarah. Adalah Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, yang kemudian lebih sering ditulis sebagai von Koenigswald saja, seorang paleontologis kelahiran Jerman yang menemukan fosil hominid yang kemudian dikenal sebagai Homo Mojokertensis, di dekat Perning, Mojokerto. Fosil anak-anak yang diperkirakan berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lalu ini menjadikan kawasan Brantas sebagai salah satu tempat penemuan hominin non Afrika yang tertua. Beberapa prasasti masa silam dan peninggalan masa kolonial juga bisa dijadikan bahan pembelajaran yang sangat baik dalam pengelolaan kawasan maupun adaptasi atas perubahannya. Djedoeng yang terletak di Desa Wotanmas Jedung dikaitkan dengan satu masa pemerintahan akhir Majapahit. Djedoeng yang terletak di Desa Wotanmas Jedung dikaitkan dengan satu masa pemerintahan akhir Majapahit. Lombard, dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 3 – Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, menuliskan prasasti-prasasti yang berkaitan dengan proyek keairan jaman Majapahit. Ia juga menuliskan irigasi terdekat lain, lebih tua, berdasarkan prasasti yang ada. Yang terdekat dengan kawasan timur Brantas ini adalah yang dilakukan Raja Airlangga, tertulis dalam Prasasti Kalagyan(1037), lokasi sekarang dikenal dengan desa Kelagen – Tulangan. Disebutkan tentang dibuatnya bendungan besar setelah terjadi luapan sungai yang merusak tanaman dan lalu lintas sungai, serta memutuskan hubungan dengan Jenggala. Letaknya di suatu tempat bernama Waringin Pitu. Di dekat kawasan yang tertulis dalam prasasti-prasati inilah bersebaran situs-situs candi yang bisa dilihat sampai sekarang: Dermo di Candinegoro-Wonoayu, Pari dan Sumur di Candipari-Porong, Wangkal di Candiwangkal-Krembung, dan Pamotan di desa Pamotan-Porong. Mereka berada tak jauh dari sumur-sumur migas milik Lapindo, baik yang masih beroperasi maupun tinggal ampasnya saja. Di wilayah hulu, situs Watugede di Singosari maupun beberapa situs candi(Sumberawan dan Singosari) menunjukkan kelekatan kawasan dengan sisitem keairan. Lebih ke barat di wilayah Batu terdapat candi di pemandian Songgoriti, dan lebih ke bawah terdapat Badut dan kompleks purbakala Karangbesuki. Sama halnya di wilayah timur, candi Jajaghu dan Kidal menunjukkan kedekatan yang sama. Bahkan jika dicermati, terdapat pusat-pusat peradaban di masa silam, setidaknya dari peninggalan candi yang mengikuti alur sungai Brantas. Blitar memiliki puluhan candi, beberapa di Pare-Kediri hingga Nganjuk, dan lebih banyak lagi di Mojokerto hingga Sidoarjo. Semasa kolonial, jaringan irigasi yang ada sepanjang Brantas, dioptimalkan dengan memberikan hak-hak pengelolaan tebu kepada pengusaha Eropa dan Tionghoa. Sekurangnya 60 pabrik gula di sepanjang Brantas kala akhir 1800 dan awal 1900an itu. Di Karesidenan Soerabaia saja, area 10,826ha bisa memproduksi 175,712 ton. Sementara di Kediri dengan lahan 11,8 ribu hektar memproduksi sekitar 179 ribu ton. Menduduki peringkat produksi ketiga dan kedua setelah Pekalongan yang mampu memproduksi pada kisaran 208 ribu ton dari lahan 12 ribu hektar, pada tahun 1938. Ini belum menghitung hasil perkebunan dan kehutanan. Perburukan Brantas mulai terjadi di beberapa kawasan hulu, tengah, hingga hilir. Hulu bagian barat(Batu) kehilangan lebih dari separuh jumlah mata air. Saat ini misalnya, warga di sekitar mata air Gemulo sedang mempertahankan wilayahnya dari ekspansi industri pariwisata. Sebuah hotel sedang didirikan dekat dengan sumber air ini. Wilayah tengah hingga hilir dihajar bahan cemaran pabrik, meski di hampir seluruhnya juga menjadi bahan baku minum bagi perusahaan penyedia air minum bagi masyarakat(PDAM). Di wilayah Sidoarjo (Sungai Porong, bagian Brantas hilir), pembuangan Lumpur Lapindo ke sungai menjadi problematika tersendiri. Mulai dari kandungan logam berat yang ada di dalam Lumpur yang dialirkan ke sungai hingga pengendapan Lumpur di wilayah muara menjadikan tambak-tambak mengalami kerusakan yang pada gilirannya menghancurkan ekonomi masyarakat di wilayah yang memakai bandeng dan udang sebagai lambang kotanya. Ditengah semua krisis dan perburukan kawasan ini, Sahabat Sungai Indonesia,  hendak memotret perubahan pengelolaan kawasan yang sedang berlangsung di sepanjang aliran sungai Brantas. Kegiatan penelusuran sungai berlangsung tanggal 13 April 2013 hingga 18 April 2013 ditujukan untuk lima hal, antara lain: (1)Menggali informasi nilai penting kawasan DAS Brantas dan perubahan kawasan dari masa ke masa, (2)Memahami situasi krisis di kawasan daerah aliran sungai Brantas, (3)Berbagi peguatan pengetahuan kelompok kritis di kawasan sepanajang DAS Brantas, (4)Merumuskan strategi dan tindakan-tindakan mitigasi dan/atau rehabilitasi kawasan, (5)Mendorong kesadaran dan partisipasi publik terlibat dalam upaya pemulihan kawasan. Susur Brantas 1 melibatkan beberapa elemen: Walhi Jatim, KRI, KIH03, Wigapala, Mahapena, IMPA Akasia, antropolog, dan relawan lingkungan. (c) Sahabat Sungai Indonesia