Surabaya – Masalah kesejahteraan nelayan terletak pada kegagalan pemerintah menjamin akses pasar dan memberantas tengkulak. Nelayan sulit lepas dari jeratan utang tengkulak ikan.
Koordinator Konsolidasi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Surabaya, Abdul Munir mengatakan, pemerintah tidak memiliki program penanganan nelayan yang jelas.
Nelayan di Surabaya dan Madura misalnya, tidak bisa menjual langsung ikan hasil tangkapan ke pembeli. Semua ikan diborong tengkulak sebelum dijual ke pasar tradisional.
“Tempat pelelangan ikan di dekat perkampungan nelayan juga tidak berfungsi. Tempat itu mangkrak, dan akhirnya digunakan untuk hal yang bukan peruntukkannya,” kata Abdul Munir, Rabu (9/1).
Kondisi nelayan semakin memprihatinkan saat musim gelombang tinggi, seperti saat ini. Sebab, nelayan tidak dapat melaut dan hanya menggantungkan hidup dari utang yang diberikan para tengkulak.
Nelayan kemudian terbelit utang karena tidak mampu membayar bunga pinjaman. Bantuan bahan makanan dan 5 kilogram beras yang biasanya disalurkan pemerintah saat nelayan tidak dapat melaut, tidak mencukupi.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, Ony Mahardika, pemerintah tidak sungguh-sungguh mensejahterakan nelayan. Wilayah pesisir sebagai ruang hidup nelayan, banyak dialihkan untuk kepentingan industri dan pertambangan.
“Pemerintah harus tegas memotong jalur para tengkulak. Caranya dengan menyediakan pasar di mana nelayan dapat langsung menjual hasil tangkapannya,” ujar Ony.
Pemerintah Kota Surabaya tidak memiliki Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP). Urusan nelayan diserahkan ke Dinas Pertanian. Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya, Samsul Arifin mengaku tidak berwenang menjawab persoalan ini.
Nelayan diperkirakan tidak dapat melaut untuk waktu yang lama. Tinggi gelombang di perairan utara Jawa Timur berkisar 3-4 meter. Selama satu pekan ke depan, tinggi gelombang laut cenderung naik dapat mencapai 7 meter. (Yovinus Guntur)
(c)VHRmedia